Ads Top

Ulumul Quran - Peran Al-Quran menjadi Rujukan peddalam hidup



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LatarBelakang
Al-Qur’an dan As-sunnah sudah menjadi pedoman utama untuk menetukan Hukum Syariat maupun Hukum-hukum yang lain, Al-Qur’an maupun sunnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan ijtihād. Ijtihād sangat dibutuhkan pada setiap istinbāṭ hukum dari dalil naṣ, sekalipun dalil naṣ tersebut bersifat qaṭ'ī yang oleh para uṣūliyyūn sudah di- sepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil naṣ yang sudah bersifat qaṭ'ī sekalipun oleh sebagian besar uṣūliyyūn, belum tentu dipandang qaṭ'ī oleh sebagian uṣūliyyūn yang lain.
B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Peran Al-Qur’an dalam Hukum ?
2.      Bagaimana Ruang Lingkup dari Al-Qur’an ?
3.      Bagaimana Hubungan Al-Quran dalam Merumuskan Hukum ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Peran Al-Qur’an dalam Hukum.
Al-Qur’an maupun sunnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan ijtihād. Ijtihād sangat dibutuhkan pada setiap istinbāṭ hukum dari dalil naṣ, sekalipun dalil naṣ tersebut bersifat qaṭ'ī yang oleh para uṣūliyyūn sudah di- sepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil naṣ yang sudah bersifat qaṭ'ī sekalipun oleh sebagian besar uṣūliyyūn, belum tentu dipandang qaṭ'ī oleh sebagian uṣūliyyūn yang lain. Rekonstruksi ijtihād menjadi se- buah alternatif, dengan beberapa pertimbangan: Pertama, berat dan ketatnya persyaratan-persyaratan menjadi seorang mujtahid, yang hampir tidak mungkin di- kuasai oleh seseorang pada masa sekarang; Kedua, semakin kompleksnya permasalah- an yang dihadapi oleh ummat yang sangat mendesak untuk mendapatkan solusi; Ketiga, membiarkan satu periode tanpa ijtihād (kevakuman mujtahid) adalah bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang selalu sāliḥ li kulli zamān wa makān. Tulisan ini hadir untuk mendiskusikan lebih jauh tentang urgensi rekonstruksi ijtihād dalam menghadapi tantangan modernitas.
Ijtihad merupakan salah satu cara dalam pengambilan dan pembaruan hukum Islam. Ijtihad merupakan media yang sangat efektif dalam penggalian sumber hukum Islam untuk menjawab segala problematika baru yang muncul di masyarakat yang belum diatur secara ekplisit oleh naṣ,1 baik yang ada dalam al- Qur'an maupun sunnah. Ijtihad yang dimaksud adalah melakukan rekonstruksi atau merumuskan kembali terhadap naṣ/teks, baik al-Qur'an maupun Sunnah.[1]
Menurut jumhur ulama uṣūl al-fiqh (uṣūliyyūn) bahwa melakukan ijtihād terhadap kedua sumber hukum tersebut (al-Qur'an dan Sunnah) diperbolehkan selama naṣ/teks tersebut masih bersifat ẓanniy al-dalālah. Sedangkan jika naṣ/teks tersebut sudah bersifat qaṭ’ī al-dalālah, maka tidak ada peluang untuk berijtihad (la maṣāgha li al-ijtihād fī mā fīhi naṣ ṣarīḥ qaṭ’ī".3 Atau istilah lain yang semakna dengannya. Kaidah tersebut menyatakan bahwa ketidakbolehan melakukan ijtihād dalam naṣ/teks yang bersifat qaṭ’ī al-dalālah adalah merupakan ijma ulama uṣūliyyūn.[2]
B.     Ruang Lingkup
Aturan al-Qur’an dipandang umat Islam sebagai pelengkap hukum adat yang telah ada. Ketika muncul persoalan baru, para ahli hukum mencoba memutuskannya berdasarkan pemecahan praktis yang berbasis nilai kepatutan. Hukum menunjukkan landasan ganda: perintah Tuhan dan keputusan manusia.[3]
Ruang lingkup Ulumul Qur’an adalah segala pembahasan mengenai Al-Qur’an baik langsung maupun tidak langsung. Dalam buku ini, ruang lingkup Ulumul Qur’an dapat terlihat dalam daftar isi sebelumnya. Mula-mula dibahas tentang pengertian Al-Qur’an, baik secara etimologis maupun terminologis, termasuk di dalamnya tentang wahyu. Kemudian dibahas tentang bagaimana cara Al- Qur’an turun dari Allah SWT ke Lauh Mahfûzh, dari Lauh Mahfûzh ke Baitul ‘Izzah di langit dunia, dan dari Baitul ‘Izzah kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah itu dibahas tentang makkiyah dan madaniyah, apa yang menjadi ukuran satu surat atau ayat dikelompokkan menjadi makkiyah dan madaniyah, apakah tempat turunnya, waktu turunnya atau sasaran kepada siapa pesan-pesan Al-Qur’an disampaikan. Para ulama juga tidak lupa membahas tentang ayat yang pertama dan terakhir turun secara mutlak dan juga yang pertama dan terakhir turun dalam tema-tema tertentu. Pembahasan dilanjutkan tentang sejarah pengumpulan Al- Qur’an, baik dari sisi hafalan dan penulisannya, mulai dari zaman Rasulullah SAW, zaman Khalifah Abu Bakar ash-Shiddîq dan zaman       Khalifah Utsmân ibn‘Affân. Tidak lupa         pada bagian ini dikemukakan beberapa tuduhan tentang pengumpulan Al-Qur’an dan jawaban terhadap tuduhan-tuduhan tersebut. Seterusnya dibahas tentang ayat dan surat, berapa jumlah ayat dan surat- surat Al-Qur’an, susunan ayat dan surat-surat, dan juga penamaan masing-masing surat, apakah susunan dan penamaan itu bersifat tauqîfi atau taufîqi?[4]
Selanjutnya dibahas tentang asbâb an-nuzûl yaitu peristiwa yang terjadi atau pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad SAW kemudian turun Al-Qur’an (satu ayat atau beberapa ayat atau satu surat) meresponnya. Juga dibahas tentang turunnya Al-Qur’an dalam tujuh huruf sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW. Apa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut, apakah tujuh dialek bahasa Arab, atau ada pengertian lain. Para ulama tidak satu kata dalam masalah ini. Sejalan dengan itu juga dibahas tentang qirâah atau cara baca Al-Qur’an yang bersumber dari cara baca Rasulullah SAW. Qirâah mana yang dapat diterima dan mana yang ditolak, apa kriterianya dan siapa saja imam-imam qirâah yang masyhur. Selanjutnya dibahas tentang nâsikh mansûkh, apakah terdapat nâsikh mansûkh dalam Al-Qur’an. Sebagian ulama menolak adanya nâsikh mansûkh dalam Al-Qur’an, sebagian lagi menerima bahkan sangat mudah menetapkan satu ayat dimansukh oleh ayat-ayat yang lain, sehingga jumlah nâsikh mansûkh sangat banyak, tetapi ada juga yang ambil jalan tengah, yaitu menerima dengan sangat selektif setelah mencoba menggabungkan ayat-ayat yang kelihatannya bertentangan dengan menggunakan pendekatan tahapan hukum, takhshîsh hukum yang umum dan sejenisnya. Kemudian dibahas tentang muhkam dan mutasyâbih, apa yang dimaksud dengan muhkam dan mutasyâbih, apa saja aspek-aspek tasyâbuh, bagaimana sikap para ulama terhadap ayat-ayat mutasyâbihât, dan apa hikmah dengan adanya ayat-ayat mutasyâbihât dalam Al-Qur’an. Tidak lupa juga dibahas tentang munâsabah dalam Al-Qur’an, yaitu hubungan antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Hubungan antara satu surat dengan surat sebelum dan sesudahnya. Dan juga dibahas tentang kisah-kisah di dalam Al-Qur’an, macam-macam kisah di dalam Al-Qur’an, kenapa beberapa bagian dari kisah Al- Qur’an diulang-ulang dalam beberapa tempat, apakah ada kisah- kisah     dalam  Al-Qur’an        yang    fiktif? Mukjizat Al-Qur’an juga merupakan pembahasan sendiri. Dibahas tentang mukjizat Al-Qur’an dari aspek bahasa, sejarah, ramalan masa depan dan aspek ilmu pengetahuan. Terakhir dibahas tentang tafsir Al-Qur’an, pengertian tafsir, bentuk, metode dan corak atau warna penafsiran. Termasuk juga dalam pembahasan ini pembahasan tentang Tafsir Al-Qur’an tematis atau at-tafsîr al- maudhû’i. Demikianlah gambaran ringkas ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an dalam buku ini. Memang belum semua ruang lingkup pembahasan Ulumul Qur’an digambarkan, masih ada tema-tema lain seperti amtsâl Al-Qur’an (perumpamaan di dalam Al-Qur’an), aqsâm Al-Qur’an (sumpah-sumpah dalam Al-Qur’an), jadal Al-Qur’an (debat-debat dalam Al-Qur’an dan pembahasan lain yang            lebih    sepesifik            seperti  huruf-huruf     potong di         dalam  Al-Qur’an,       tentang muthlaq dan muqayyad, ‘âm dan khâsh, mantûq dan mafhûm dan lain sebagainya yang belum dibahas. Bagi pembaca yang berminat lebih mendalami lagi silahkan membaca langsung dalam berbagai kitab ulum Al-Qur’an yang tersedia di perpustakaan.[5]

C.    Hukum adalah Al-qur-an.
Hukum Islam secara ideal dipahami sebagai sekumpulan aturan komprehensif dan seragam dari Allah mengenai tingkah laku manusia.  Pada prakteknya, upaya memahami aturan Allah tersebut melibatkan kerja para ahli hukum yang tidak kebal dari kesalahan. Ada berbagai faktor yang mem- pengaruhi pemahaman ahli hukum sehingga perbedaan pendapat menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkembangan hukum Islam. Perbedaan pendapat tersebut tersebut mengalami kristalisasi dalam mazhab-mazhab hukum Islam, khususnya empat mazhab utama: Hanafī, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dua mazhab pertama, yaitu Hanafī dan Māliki, lahir dari perbedaan yang timbul akibat keragaman geografis. Dua mazhab kedua, yaitu Syafi’i dan Hanbali, lahir dari perbedaan pen- dapat individu dalam persoalan yurisprudensi. Pada perkembangannya, mazhab menjadi entitas yang demarkatif. Masing-masing mazhab dipandang khas dan berbeda dengan mazhab lain.[6]
Para hakim tidak lagi bebas menafsirkan al-Qur’an dan Hadis maupun melaku- kan analogi (qiyās) dan istiḥsān. Kuatnya pengelompokan ahli hukum dalam mazhab menuntut para ahli hukum untuk ber-taqlīd kepada otoritas pendiri mazhab. Keputusan para ahli hukum kemudian harus berangkat dari teks-teks standar dalam mazhab. Hal yang sama juga dialami oleh para hakim. Puncak dari pembatasan atas kebebasan individu dalam berijtihad terjadi melalui wacana penutupan pintu ijtihād.
Dengan demikian penalaran bebas yang menjadi karakter para ahli hukum Islam awal pada perkembangannya berubah menjadi otoritarianisme mazhab hukum. Sintesis antara kebebasan individu dan otoritarianisme mazhab tersebut terjadi dalam legislasi dan peradilan di negara-negara Muslim modern. Para ahli hukum mencoba memecahkan otoritarianisme mazhab melalui rujukan langsung terhadap al-Qur’an dan Hadis dengan tidak menentang secara langsung otoritas mazhab. Model eklektis (talfiq atau takhayyur) digunakan untuk mencari pilihan hukum yang lebih baik berdasarkan argumentasi teks al-Qur’an dan Hadis.[7]



Al-Qur’an maupun Sunnah sangat membutuhkan pemahaman dan penggalian secara optimal agar isi kandungan hukumnya dapat diterapkan bagi kemaslahatan umat. Cara untuk menggali dan mengeluarkan isi kandungan yang ada dalam kedua sumber tersebut dinamakan ijtihād. Ijtihad sangat dibutuhkan pada setiap istinbāt hukum dari dalil naṣ, sekalipun dalil naṣ tersebut bersifat qaṭ'ī yang oleh para uṣūliy- yūn sudah disepakati tidak menjadi wilayah untuk dijitihadi lagi. Permasalahannya adalah bahwa sesuatu dalil naṣ yang sudah bersifat qaṭ'ī sekali pun oleh sebagian besar uṣūliyyūn, belum tentu dipandang qaṭ'ī oleh sebagian uṣūliyyūn yang lain. 
Rekonstruksi ijtihād menjadi sebuah alternatif, dengan beberapa pertimbangan: pertama, berat dan ketatnya persyaratan-persyaratan menjadi seorang mujtahid, yang hampir tidak mungkin dikuasai oleh seseorang pada masa sekarang. Kedua, semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi oleh ummat yang sangat mendesak untuk mendapatkan solusi. Ketiga, membiarkan satu periode tanpa ijtihād (kevakuman mujtahid) adalah bertentangan dengan prinsip dasar hukum Islam yang selalu sāliḥ li kulli zamān wa makān. Maka solusi terbaik dalam melakukan ijtihād model zaman sekarang adalah ijtihād jamā'i (ijtihād kolektif), atau ijtihād integratif, yaitu perpaduan antara ijtihād intiqā'i dan ijtihād inshā'ī.[a]






Fanhani Akhwani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM,
Ilyas Yunahar, Ulumul Quran(Yogyakarta:Itqan Publishing)2014
Fanhani Akhwani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM,
Fanhani Akhwani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM,




[1] Akhwani Fanhani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM, Hlm.162
[2] Akhwani Fanhani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM, Hlm.162
[3] Yunahar Ilyas, Ulumul Quran (Yogyakarta:Itqan Publishing)2014 hlm.3
[4] Yunahar Ilyas, Ulumul Quran (Yogyakarta:Itqan Publishing)2014 hlm.5
[5] Akhwani Fanhani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM, Hlm.125
[6] Akhwani Fanhani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM, Hlm.126
[7] Akhwani Fanhani, Journal Ahkam Volume 22, Nomor 2, Oktober 2012: PERSPEKTIF COULSON TERHADAP RUMUSAN DIALEKTIKA HUKUM ISLAM, Hlm.127

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.