Pandangan dan pemikiran Mu'tazilah dan Ahlu Assunnah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemikiran Aliran Mu’tazilah
1. Sejarah Mu’tazilah
Mu’tazilah secara harfiah berasal dari kata i’tazalayang artinya berpisah atau memisahkan diri.[1] Sebuah teori menyebutkan bahwa nama ini di berikan atas dasar ucapan Hasan al-Basri setelah melihat Wasil memisahkan diri. Diriwayatkan Hasan al-Basri berucap ”i’tazala anna (ia memisahkan diri dari kami)”. Orang yang mengasingkan diri (mengasingkan diri dari majlis kuliah Hasan al-Basri, atau mengasingkan diri dari pendapat Murji’ah dan Khawarij) disebut Mu’tazilah.
Teori lain menyebutkan bahwa Mu’tazilah berasal dari kata i’tazala yang dipakai terhadap orang yang mengasingkan diri dari pertikaian politik yang terjadi pada zaman Ustman bin Affan dan ’Ali bin Abi Thalib. Golongan yang tidak mau terlibat dalam pertikaian politik mengasingkan diri dan memusatkan perhatian pada ibadah dan ilmu pengetahuan. Salah seorang dari yang mereka adalah Abu Husain yang mempunyai hubungan erat dengan Washil bin Atha’.[2]
Para ulama berbeda pendapat mengenai waktu munculnya golongan ini. Sebagian berpendapat, lahirnya golongan ini lebih disebabkan karena politik (i’tizâl siyâsi), dimana Hasan bin ‘Ali membai’at Mu’awiyah dan menyerahkan jabatan khalifah kepadanya. Mereka mengasingkan diri dan menetap di rumah-rumah, masjid-masjid.
Pada umumnya ulama berpendapat bahwa lahirnya golongan ini lebih disebabkan karena perdebatan (i’tizâl kalâmi) mengenai hukum pelaku dosa besar antara Imam Hasan al-Bashri dengan Wâshil bin ‘Atha’.[3]
2. Doktrin ajaran Mu’tazilah
Abu al-Hasan al-Khayyath dalam bukunya (al-Intishar) mengatakan, “Tidak seorangpun berhak mengaku sebagai penganut Mu’tazilah sebelum ia mengakui al-Ushul al-Khomsah. Jika sudah mengakui semuanya, ia baru bisa disebut penganut Mu’tazilah.”[4] Lima ajaran resmi Mu’tazilah itu adalah sebagai berikut:
I. Al-Tauhid (Keesaan Tuhan)
Al-Tauhid merupakan inti akidah madzhab mereka dalam membangun keyakinan tentang mustahilnya melihat Allah di akhirat nanti, dan sifat-sifat Allah itu adalah substansi Dzatnya sendiri serta Al Qur`an adalah makhluk.
II. Al-‘Adl (Keadilan)
Keadilan yang dikehendaki Mu’tazilah adalah Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia, dan manusia dapat mengerjakan perintah dan meninggalkan laranganNya dengan qudrahyang ditetapkan pada diri manusia itu. Tuhan tidak memerintahkan sesuatu kecuali menurut apa yang dikehendakiNya. Ia hanya menguasai kebaikan-kebaikan yang diperintahkanNya dan tidak mengetahui dari keburukan-keburukan yang dilarangNya.
III. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman)
Mereka berkeyakinan bahwa janji berupa pahala sebagai balasan kebaikan akan terjadi, janji ancaman berupa siksa atas kejahatan juga akan terjadi, serta janji menerima taubat yang sungguh-sungguh juga akan terjadi.
IV. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (Tempat di antara dua tempat)
Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang berbuat maksiat boleh saja dinamai muslimuntuk membedakannya dari dzimmi, bukan untuk memuji atau memuliakannya, sebab ketika di dunia orang itu beramal seperti amalan orang Islam, karenanya dituntut untuk bertaubat dan duharapkan mendapat hidayah.
V. Al-Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘al-Munkar
Dalam pandangan Mu’tazilah, semua muslim wajib melakukan upaya tersebut untuk menyiarkan dakwah Islam dan menunjuki orang yang sesatserta mencegah serangan orang yang mencampuradukkan kebenarandan kebatilan, sehingga mereka tidak dapat menghancurkan Islam.[5]
3. Tokoh-tokoh aliran Mu’tazilah
a. Wasil bin Atha (80-131 H / 699 M)
b. Abu Huzail al-Allaf (135-226 H/753-840 M)
c. Ibrahim bin Sayyar An-Nazzam (wafat 231 H/845 M)
d. Bisyr bin al-Mu’tamar (wafat 226 H/840 M)
B. Pemikiran Aliran Ahlus Sunnah wal Jamaah
1. Sejarah ahlus Sunnah wal Jama’ah
Istilah Ahlus Sunnah wa al Jama’ah terdiri dari tiga kata, yaitu Ahlun, Al Sunnah, dan al-Jama’ah. Secara etimologi, Ahlu berarti keluarga, penduduk, orang yang berilmu, atau pendukung. Al-Sunnah, menurut bahasa Arab, adalah al-Thariqah, yang berarti metode, kebiasaan, perjalanan hidup, atau perilaku, baik terpuji maupun tercela. Lebih jelas lagi adalah definisi yang disampaikan oleh Ibnu Rajab al-Hanbaly Rahimahullah (wafat 795 H) yang menyatakan bahwa As-Sunnah ialah jalan yang ditempuh, yang mencakup di dalamnya berpegang teguh kepada apa yang dilaksanakan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para khalifahnya yang terpimpin dan lurus berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan dan perbuatan. Itulah as-Sunnah yang sempurna. Selanjutnya dia menambahkan bahwa generasi Salaf terdahulu tidak menamakan as-Sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Inilah yang diriwayatkan oleh Imam Hasan al-Bashry (wafat th. 110 H), Imam al-Auza’iy (wafat th. 157 H) dan Imam Fudhail.
Sedangkan al-Jama’ah menurut Ibn Taimiyah adalah persatuan. Ada juga yang mengartikannya sebagai ahlul Islam yang bersepakat dalam masalah syara’. Selain itu juga ada yang mengartikannya al Sawadul A’zham (kelompok mayoritas). Ada juga yang mengatakan bahwa al-Jama'ah, makna asalnya adalah sejumlah orang yang mengelompok. Tetapi, yang dimaksud dengan al-Jama'ah dalam pembahasan aqidah adalah Salaf (pendahulu) dari umat ini dari kalangan shahabat dan orang-orang yang mengikuti kebaikan mereka, sekalipun hanya seorang yang berdiri di atas kebenaran yang telah dianut oleh jama 'ah.
Menurut Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi, istilah Ahlus Sunnah wa al Jama'ah adalah istilah yang sama dengan Ahlus Sunnah. Dan secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Menurutnya, kata “ahlus sunnah” mempunyai dua makna: Pertama, mengikuti sunnah-sunnah dan atsar-atsar yang yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para sahabat, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam. Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama’, dimana mereka menamakan kitab mereka dengan nama as sunnah, seperti Abu Ashim, al Imam Ahmad Ibn Hanbal, al Imam, al Khalal, dan lain-lain. Mereka mengartikan as sunnah sebagai i’tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma’.
2. Prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah
a. Beriman kepada Allah, para MalaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk.
b. Dan diantara prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah: bahwasanya Iman itu perkataan, perbuatan dan keyakinan yang bisa bertambah dengan keta'atan dan berkurang dengan kemaksiatan.
c. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bahwasanya mereka tidak mengkafirkan seorangpun dari kaum muslimin kecuali apabila dia melakukan perbuatan yang membatalkan keislamannya
d. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah wajibnya ta'at kepada pemimpin kaum muslimin selama mereka tidak memerintahkan untuk berbuat kema'skshiyatan, apabila mereka memerintahkan perbuatan ma'shiyat, dikala itulah kita dilarang untuk menta'atinya namun tetap wajib ta'at dalam kebenaran lainnya
e. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah haramnya keluar untuk memberontak terhadap pemimpin kaum muslimin apabila mereka melakukan hal-hal yang menyimpang, selama hal tersebut tidak termasuk amalan kufur.
f. Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah bersihnya hati dan mulut mereka terhadap para sahabat Rasul Radhiyallahu 'anhum
g. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah mencintai ahlul bait sesuai dengan wasiat Rasul
h. Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah membenarkan adanya karomah para wali yaitu apa-apa yang Allah perlihatkan melalui tangan-tangan sebagian mereka, berupa hal-hal yang luar biasa sebagai penghormatan kepada mereka
i. Sebagaimana hal tersebut telah ditunjukkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah.
C. Masalah yang Terjadi pada Mu’tazilah dan Ahlus Sunah wal Jamaah
1. Penentuan baik dan buruk
Kaum Mu’tazilah berpendapat, bahwa buruk dan baik ditentukan oleh akal.[7] Sedangkan menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang menentukan buruk dan baik itu adalah Allah Swt bukan akal. Apa yang dikatakaan baik oleh syari’ah (Qur’an dan Sunnah) maka baiklah ia dan apa yang dikatakan buruk olehnya buruklah ia. Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukan membuang akal itu sama sekali. Akal dipakai juga, tetapi hanya untuk meneliti, bukan untuk mengadakan hukum.[8]
2. Sifat-sifat Allah Swt.
Kaum Mu’tazilah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai sifat. Allah mendengar dengan zat-Nya, Allah melihat dengan zat-Nya dan Allah berkata dengan zat-Nya. Menurut mereka, dasar faham ini ialah tauhid, jika Allah memakai sifat itu berarti Allah dua, yaitu Zat dan Sifat.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan bahwa Allah mempunyai sifat, bukan satu bukan dua, tetapi banyak. Ada sifat yang wajib ada pada Allah, ada yang mustahil ada pada Allah,dan ada yang harus ada pada Allah swt.
هُوَاللهُالّذِي لاَ إلهَ إلاَّ هُوَ عَلِمَ الغَيبِ واشَّهَدَة ةِ هُوَ الرَّ حْمَنُ الرَّ حِيْمْ
Dialah Allah, tiada Tuhan selain Dia. Mengetahui yang gaib dan yang nyata, Dialah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.(QS al-Hasyar: 22)
هُوَ اللهُ الخَلِقُ الْبَا رِ ىَ الْمُصَوِّرُ..............
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan,Yang Membentuk Rupa. (QS al-Hasyar: 24)
3. Sifat Al-Quran
Kaum Mu’tazilah menafikan sifat ma’ani, seperti al-qudrah, al-iradah, al-sama’, al-bashar, al-kalam. Dengan menafikan sifat al-kalam maka mereka mengingkari bahwa Allah Mutakallim.[9]
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat, bahwa Al-Qur’an adalah kalamullah, bagaimanapun keadaannya, apakah yang terjaga di dalam dada (yang dihafal oleh kaum muslimin) atau yang dibaca oleh lisan, atau yang ditulis di mushaf. Al-Qur’an adalah Kalamullah, lafazhnya, hurufnya, dan maknanya adalah Kalamullah.[10]
إِنَّمَا قَوْ لُنَا لِشَىءٍ إِرَدْنَهُ أَنْ نَّقُوْلَ لَهُ, كُنْ فَيَكُوْن
Sesungguhnya firman Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya, “Jadilah!” (kun), Maka jadilah sesuatu itu. (QS an-Nahl: 40)
4. Pembuat dosa besar
Washil bin Atha’, Imam kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa, mu’minyang mengerjakan dosa besar dan mati atas dosanya tidak lagi mu’min dan tidak pula kafir tetapi di antara kafir dan mu’min. Ia dimasukkan ke dalam neraka buat selama-lamanya seperti orang-orang kafir, tetapi hukumannya diringankan, nerakanya tidak sepanas neraka orang-orang kafir.
Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa tempat di akhirat hanya dua, surga dan neraka. Orang mu’min yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, maka orang itu tetap mu’min, di sembahyangkan, dimandikan dan dikuburkan sebagai orang mu’min. Pada hakikatnya ia mu’min yang durhaka kepada Allah swt.
إِنَّاللهَ لاَ يَخْفِرُ أَنْ يُشْمَ كَ بِهِ وَيَخْفِرُ مَا دُوْنَ ذَ لِكِ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ أَفْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berberbuat dosa yang besar. (QS an-Nisa’: 48)
5. Allah tidak dapat dilihat
Mu’tazilah memfatwakan bahwa Allah tidak bisa dilihat walaupun dalam surga, karena hal itu akan menimbulkan tempat seolah-olah Allah ada dalam surga atau dimana Ia dapat dilihat. Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang berpendapat bahwa Allah akan dilihat oleh penduduk surga, oleh hamba-hambaNya yang saleh yang banyak mengenal Allah ketika hidup di dunia.
Allah berfirman:
وُجُوْهٌ يَوْ مَىِىذٍ نّا ضِرَة, إِلَى رَبِّهَا نَا ظِرَةٌ
Wajah-wajah (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri,memandang Tuhannya. (QS. Al-Qiyamah: 22-23)
6. Mi’rajNabi Muhammad
Kaum Mu’tazilah tidak mengakui dan tidak meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW Mi’raj ke langit pada tanggal 27 Rajab, satu tahun sebelum hijrah ke Madinah. Mereka hanya mengakui Isra (perjalanan malam dari Makkah ke Baitul Maqdis). Menurut Mu’tazilah Mi’raj itu tidak masuk akal walaupun ada hadist shahih yang menerangkannya. Ahlus Sunnah wal Jama’ah melawan pendapat tersebut dengan dalil:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَىٰ بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا ۚ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha suci (Allah), yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad) padamalam hari (Isra’) dari Masjidil Haram (Makkah) sampai Masjidil Aqsha (Yerussalem), yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Melihat.(QS. Al-Isra’: 1)
[2] Richard C Martin, Post Mu’tazilah: Genealogi Konflik Rasionalisme & Tradisionalisme Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2002, hlm. 329-330.
[3] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hlm. 149.
[4] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hlm. 151.
[5] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hlm. 151-154.
[8] Siradjuddin ‘Abbas, I’itiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 1984, hlm. 187.
[9] Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos Publishing House, 1996, hlm. 176.
[10] Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Prinsip-prinsip Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Bogor: Pustaka At-Taqwa, 2008, hlm. 80.
Tidak ada komentar: