Ads Top

Pandangan dan Pemikiran Syiah, khawarij dan Murjiah

BAB II
PEMBAHASAN
A.    KHAWARIJ
Khawarij adalah aliran kalam tertua dalam islam. Aliran ini muncul di tengah tengah kemelut politik yang terjadi di kalangan kaum muslimin pada masa khalifah Ali Bin Abi Thalib. Mereka ini kelompok Al-Qurra dan Al-Huffazh. Semula adalah pengikut dan pendukung khalifah,karena tidak setuju dengan kebijakan arbitrase atau tahkim yang diambil oleh pihak khalifah ali dan mu’awiyah mereka menyatakan keluar dan membuat kelompok sendiri.
Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang orang arab Badawi yang hidup di padang pasir yang tandus sehingga membuat mereka bersikap sederhana dalam pemikiran dan hidup,tetapi keras hati, berani, bersifat merdeka, dan tidak bergantung pada orang lain.
Mereka bersifat bengis, suka kekerasan, tidak takut mati, jauh dari ilmu pengetahuan dan fanataik. Mereka tidak dapat mentolerir penyimpangan terhadap aajaran islam menurut faham mereka, walaupun hanya penyimpanan dalam bentuk kecil. Berakibat dengan mudahnya terpecah belah menjadi golongan golongan kecil, dan mereka terus menerus mengadakan perlawanan terhadap pemerintahan islam pada waktu itu.
Sesuai dengan uraian di atas maka pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong rang kafir adalah sikap menetang terhadap pemikiran kawarij sehingga prang yang tidah sepaham dengan mereka tergolong kafir. Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi tentang iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan hati,mengucapkan dengan lisan. Dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya itu maka orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya,termasuk kufur karena amal mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok pokok pikiran ilmu kalam dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Orang islam yang melakukan dosa besar adalah kafir
2.      Orang yang terlibat perang jamal yakni perang antara ali dan aisyah dan pelaku arbitrase antara ali dan mu’awiyah dihukum kafir
3.      Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan nabi atau suku quraisy

B.     MURJI’AH
Nama Murjiah itu diambil dari kata bahasa arab arja ( ارجي ) yang berarti menangguhkan, mengakhirkan, dan juga memberi pengharapan. Kata arji yang merupakan bentuk fi’il amr dari arja dalam arti menunda, menangguhkan, mengakhirkan, sedangkan pengertian murjiah secara istilah ialah suatu kelompok yang menunda keputusan orang-orang islam yang berselisih, berperang, dan menumpahkan darah, hingga dihadapkan kepada Allah. SWT pada hari kiamat. Mereka tidak memutuskan siapa diantara mereka yang benar dan siapa pula yang salah. Senada dengan pendapat tersebut Harun Nasution juga mendefinisikan murjiah sebagai golongan yang menunda soal dosa besar yang dilakukan orang islam kepada Allah. Mereka tidak mengambil keputusan sekarang juga di dunia ini dengan munghukum pelaku dosa besar menjadi kafir yang tidak akan masuk surga. Bagi mereka, pelaku dosa besar masih akan masuk surga. Ajaran mereka dengan demikian memberi pengharapan bagi pelaku dosa besar untuk diberi ampunan oleh Tuhan dan seterusnya masuk surga.[1]
Muncul kelompok ini dari cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Al Hasan bin Muhammad al-Hanafiyah (695M) yang ingin menengahi pertentangan antara Khawarij dengan Syiah dan Muawiyah.[2]
Kaum Murji’ah pada mulanya merupakan aliran yang tidak turut campur dalam pertentangan-pertentangan antara kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan dengan kelompok Ali bin Abi Talib. Mereka mengambil sikap menyerahkan penentuan hukum kafir atau tidak kepada tuhan.
Kaum Khawarij menjatuhkan hukum kafir bagi orang yang berbuat dosa besar, sedangkan kaum Murji’ah menjatuhkan hukum mukmin. Adapun soal dosa besar yang mereka perbuat, ditunda penyelesainnya sampai dengan hari akhir kelak, dengan alasan orang-orang tersebut  masih mengakui dua syahadat yang menjadi dasar utama dari iman, iman masalah yang utama dan perbuatan hanya masalah yang kedua.[3]
Sebagaimana faham yang lainnya, Murji’ahpun pecah menjadi berbagai golongan, yang pada dasarnya terpecah dalam dua golongan :
a.       Golongan Moderat, bahwa orang yang berdosa besar tidaklah kafir dan tidak kekal dalam neraka, tetapi akan dihukum dalam neraka, sesuai dengan tingkat besar dosa yang dilakukannya, dan ada kemungkinan juga bahwa Tuhan akan memaafkan dosanya sehingga tidak akan masuk neraka sama sekali. Tokoh-tokohnya yaitu Al Hasan Bin Muhammad Bin Ali bin Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan beberapa ahli hadits. Jadi bagi golongan ini orang islam yang berdosa besar masih tetap mu’min. Dalam hubungan ini Abu Hanifah memberi definisi iman sebagai berikut, iman ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang rasul-rasul-Nya dan tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam perincian, iman tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada perbedaan antara manusia dalam hal iman.[4]
b.      Golongan Extrim yaitu golongan Jahmiah pengikut Jahm Ibnu Sofwan. Menurut faham ini orang islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian mengatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufur tempatnya hanya ada dalam hati, bukan dalam bagian lain dari tubuh manusia. Sungguh mereka menyembah berhala menjalankan ajaran-ajaran agama yahudi dan kristen kemudian mati, orang yang demikian bagi Allah tetap seorang mu’min yang sempurna imannya. Al-Shalihiah, pengikut Abu Hasan Al-Shalihi berpendapat, sholat tidaklah merupakan ibadah karena yang disebut ibadah ialah iman kepada-Nya. Lebih lanjut Al-Baghdadi berpendapat bahwa sholat, zakat, dan haji menggambarkan kepatuhan dan tidak merupakan ibadah kepada Allah, yang dinamakan ibadah hanyalah iman. Faham Al-Yanusiah menjelaskan bahwa melakukan maksiat atau pekerjaan jahat tidaklah merusak iman seseorang.[5]
Dapat disimpulkan pendapat extrim diatas bahwa perbuatan amal tidak sepenting dengan iman, karena imanlah yang menentukan mu’min dan tidak mu’minnya seseorang, perbuatan-perbuatan tidak mempunyai pengaruh. Iman letaknya dalam hati dan apa yang ada dalam hati seseorang tidak diketahui manusia lain, dan perbuatan-perbuatan manusia tidak selamanya mengggambarkan apa yang adaa didalam hatinya. Faham ini ada bahayanya, karena dapat mengakibatkan sikap lemah ikatan-ikatan amal oleh masyarakat, masyarakat menganggap hanya imanlah yang penting sedangkan akhlak dianggap kurang penting dan bisa diabaikan oleh mereka. Inilah sebabnya nama Murji’ah akhirnya dipandang tidak baik dan sehingga tidak disenangi oleh masyarakat.
Pendapat Murji’ah moderat sama dengan faham Al Asy’ari sebagaimana dikuatkan oleh Ibnu Harun bahwa Al Asy’ari dapat dimasukkan kedalam golongan Murji’ah. Al Asy’ari menegaskan  iman ialah pengakuan dalam hati tentang keesaan Tuhan, tentang kebenaran Rasul-rasul. Mengucapkan dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam  merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggal dunia tanpa taubat, nasibnya terletak ditangan Tuhan. Kemudian Tuhan akan mengampuni dosa-dosanya atau kemungkinan tidak mengampuni dosa-dosa yang diperbuatnya, kemudian baru masuk surga dan tidak mungkin kekal dalam neraka.
Aliran-aliran Murji’ah moderat dan extrim telah lenyap, tetapi ajaran-ajaran Murji’ah moderat tentang iman kufur dan dosa-dosa besar masuk ke dalam aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah.[6]
C.  SYI’AH 
Syiah artinya sahabat atau pengikut. Adapun yang dimaksud madzhab syiah adalah paham yang mengagungkan keturunan nabi Muhammad SAW, mereka mendahulukan keturunan-keturunan nabi untuk menjadi khalifah yaitu Ali bin Abi Thalib. Syiah mempunyai pendirian bahwa Ali bin Abi Thalib telah ditunjuk nabi dengan nash untuk menjadi khalifah sesudah ia wafat, bahwa setiap orang yang menjadi imam wajib ma’sum.[7]
Ali sebenarnya tidak menonjolkan diri untuk merebut kekhalifahan, beliau sadar bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah bukan karena keturunan tetapi harus melalui pemilihan umum dan perseteruan umat.
Dalam syiah terdapat apa yang namanya ushuluddin (pokok-pokok agama) dan furu’uddin (masalah penerapan agama). Syiah memiliki lima ushuluddin :
1.      Tauhid, bahwa Allah SWT adalah Maha Esa.
2.      Al-adl, bahwa Allah SWT adalah Maha adil
3.      An-Nubuwwah, bahwa kepercayaan syiah meyakini keberadaan para nabi sebagai pembawa berita dari Tuhan kepada umat manusia
4.      Al-Imamah, bahwa syiah meyakini adanya imam-imam yang senatiasa memimpin umat sebagai penerus risalah kenabian
5.      Al-Ma’ad, bahwa akan terjadi hari kebangkitan
Secara umum syiah mempercayai bahwa Tuhan mereka adalah Allah SWT. Hanya saja ada pandangan-pandangan mendasar dalam hal yang kemudian disebut dengan konsep tauhid ini. Mereka percaya bahwa Allah adalah Tunggal dan tidak ada sekutu. Tetapi dalam syiah, mereka kemudian menyebut-nyebut ; wahai Ali, wahai Husein dan keturunan Ali lainnya saat berdoa. Mereka meminta-minta pada orang yang sudah meninggal yang dalam aliran Sunni sebagai aliran terbesar Islam dunia sebagai dosa.
            Selain itu syiah juga tidak mengakui bahwa Allah bersifat maha mendengar dam melihat. Alasannya jika Allah demikian, maka Allah sama saja dengan Manusia. Syiah juga meyakini Allah tidak bisa melihat hal-hal yang akan terjadi.[8]
Kaum Syi’ah juga meyakini bahwa Allah SWT itu Esa, tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan tidak diperanakkan dan juga tidak serupa dengan makhluk yang ada di bumi ini. Namun, menurut mereka Allah memiliki dua sifat yaitu al-tsubutiyah yang merupakan sifat yang harus dan tetap ada pada Allah SWT. Sifat ini mencakup ‘alim (mengetahui), qadir (berkuasa), hayy (hidup), murid (berkehendak), mudrik (cerdik, berakal), qadim azaliy baq (tidak berpemulaan, azali dan kekal), mutakallim (berkata-kata) dan shaddiq (benar). Sedangkan sifat kedua yang dimiliki oleh Allah SWT yaitu al-salbiyah yang merupakan sifat yang tidak mungkin ada pada Allah SWT. Sifat ini meliputi bisa dilihat, bertempat, bersekutu, berhajat kepada sesuatu dan merupakan tambahan dari Dzat yang telah dimilikiNya.[9]




[1]https://ahmadtoibuin89.wordpress.com/2013/05/14/murjiah/
[2]http://jumadibismillahsukses.blogspot.co.id/2011/11/aliran-aliran-dalam-ilmu-tauhid.html
[3] Drs. A. Ghofir Romas, “Ilmu Tauhid” (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN WALISONGO Semarang),   1986, hal. 78-79.
[4]https://ahmadtoibuin89.wordpress.com/2013/05/14/murjiah/

[5]https://ahmadtoibuin89.wordpress.com/2013/05/14/murjiah/
[6]Drs. A. Ghofir Romas, “Ilmu Tauhid” (Semarang: Badan Penerbit Fakultas Dakwah IAIN WALISONGO Semarang),   1986, hal. 80-82.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.