Ads Top

Makalah Hukum Perdata tentang Perikatan


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perikatan, rumusan pasal 1233 menyatakan bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Dengan adanya pasal tersebut dapat diketahui bahwa perikatan tidak hanya lahir dari perjanjian melainkan juga lahir dari undang-undang.
Akibat hukum suatu perikatan yang lahir dari undang-undang mungkin tidak dikehendaki oleh berbagai pihak, tetapi hubungan hukum dan akibat hukumnya ditentukan oleh undang-undang. Apabila ingin mengetahui aturan-aturan beberapa figure dari perikatan yang lahir dari undang-undang maka haruslah dilihat pada peraturan mengenai materi dari perikatan itu sendiri. Dengan kata lain, apabila suatu perbuatan hukum yang memilki unsur tertentu undang-undang kemudian menetapkan perbuatan hukum itu sebagai suatu perikatan.
Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang diatur dalam pasal 1352 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa, “Perikatan-perikatan yang lahir demi undang-undang timbul dari undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”.
Terhadap perkataan “dari undang-undang” sebagai akibat perbuatan orang dapat ditemukan lagi subnya yang diatur dalam pasal 1353 KUHPER yang berbunyi, “Perikatan-perikatan yang dilahirkan dari undang-undang terbit dari perbuatan halal atau perbuatan melawan hukum.”
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana makna dari undang-undang?
2.      Apa sajakah perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang ?
3.      Apakah yang dimaksud dengan penyelenggaraan kepentingan orang lain (Zaak Warneming)?
4.      Apakah yang dimaksud dengan pembayaran tanpa hutang dan perikatan bebas (Onsverschuldig de Betaling)?
5.      Apakah yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad)?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui makna dari undang-undang.
2.      Untuk mengetahui perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang.
3.      Untuk mengetahui makna dari penyelenggaraan kepentingan orang lain.
4.      Untuk mengetahui makna dari pembayaran tanpa hutang.
5.      Untuk mengetahui makna dari perbuatan melawan hukum.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Undang-undang
Undang-undang atau dalam Bahasa Inggris disebut legislation dan dalam Bahasa Latin lex, legis yang berarti hukum, merupakan sumber hukum, semua dokumen yang dikeluarkan oleh otoritas yang lebih tinggi, yang dibuat dengan mengikuti prosedur tertulis. Undang-undang merupakan karya legislatif yang sering diwujudkan dalam parlemen yang mewakili rakyat. Materi dalam undang-undang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945.
Dalam kajian hukum, undang-undang dibedakan ke dalam dua pengertian yaitu undang-undang dalam arti materiel dan undang-undang dalam arti formil. Menurut Paul Laband, undang-undang dalam arti materiel adalah penetapan kaidah hukum yang tegas sehingga hukum itu menurut sifatnya dapat mengikat. Sedangkan menurut Buys, undang-undang dalam arti materiel adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk suatu daerah.
Pengertian undang-undang dalam arti formil menurut N. E. Algra, adalah undang-undang resmi atau yang dibuat oleh pembuat undang-undang formal. Selain itu, undang-undang dalam arti formil didefinisikan sebagai keputusan penerintah atau penguasa yang berwenang yang karena prosedur terjadinya  atau pembentukannya dan bentuknya dinamkan undang-undang.
Makna undang-undang menurut tata urutan perundang-undangan Indonesia adalah peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UUD 1945 yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama presiden.[1]

B.     Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang
Pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1233 menyebutkan sumber perikatan adalah perjanjian dan undang-undang. Pengertian perikatan sendiri adalah suatu hubungan hukum di bidang kekayaan di mana suatu pihak berhak menuntut suatu prestasi dan pihak lainnya berkewajibaan untuk melaksanakan suatu prestasi.
Perikatan yang lahir dari undang-undang sendiri terdiri atas perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia.  Perikatan yang lahir dari undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia sendiri terbagi atas dua bagian yaitu perikatan halal dan perikatan tidak halal atau perbuatan melanggar hukum.
Perikatan yang lahir dari undang-undang saja, misalnya hak dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang bertetangga. Pasal 667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa pemilik sebidang tanah atau pekarangan yang letaknya terjepit di antara tanah milik orang lain sehingga dia tidak mempunyai jalan keluar, berhak menuntut tetangganya untuk memberi jalan pada pekarangaan tetangganya dengan membayar ganti rugi, meskipun di antara mereka tidak ada perjanjian untuk itu. Namun dengan di cabutnya ketentuan Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata oleh Undang-Undang tentang pokok-pokok agraria No.5 Tahun 1960, maka ketentuan pasal 667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sudah tidak berlaku lagi. Apabila ada sengketa antara pemilik pekarangaan atau tanah yang letaknya bertetanggaan maka perlindungan hukum di serahkan kepada hakim dengan dasar asas bahwa hak milik atas tanah berfungsi sosial.
Selanjutnya perikatan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan manusia ialah perwakilan sukarela yang diatur dalam pasal 1354 KUH Perdata dan pembayaraan tidak wajib yang diatur dalam pasal 1359 ayat (1) KUH Perdata. Perwakilan suka rela terjadi apabila seseorang tanpa di minta secara suka rela mewakili orang lain. Maka, demi hukum orang lain ini harus menyelesaikan urusan orang yang diwakilkanya sampai orang yang diwakilkannya dapat mengurus kepentingannya sendiri. Pihak yang telah mewakili orang tersbut tanpa mendapat perintah, tidah berhak atas upah, akan tetapi dia berhak memperoleh ganti rugi atas segala pengeluaran yang bermanfaat bagi penggurusan tersebut. Demikian bunyi ketetuan pasal 1357 dan pasal 1358 KUH Perdata.
Adapun mengenai perbuatan yang tidak halal diatur dalam pasal 1365 KUH Perdata mewajibkan orang yang melakukan perbuatan melawan hukum dank arena kesalahannya merugikan orang lain, untuk memberikan ganti rugi. Untuk mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum, tidakperlu adanya hubungan kontraktual antara pihak yang dirugikan dan pihak yang menimbulkan kerugian.[2]
C.    Perikatan yang Lahir Akibat Perbuatan Halal
1.      Penyelenggaraan kepentingan orang lain (Zaak Warneming)
Mengurus kepentingan orang  lain ialah suatu perbuatan mengurus kepentingan orang lain secara sukarela tanpa ada perintah untuk itu, baik dengan pengetahuan maupun tanpa pengetahuan dari orang yang diurus kepentingannya itu (Purwahid Patrik 1974:72). Perikatan semacam ini diatur didalam pasal 1354 KUHPER yang menyatakan bahwa:
“Jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasai dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas.”
Kepengurusan ini terjadi apabila yang diurus kepentingannya itu tidak ditempat, sakit, atau dalam keadaan apapun yang menjadikan ia tidak dapat mengurus kepentingan sendiri.
Orang yang mengurus kepentingan orang lain, perbuatanya dapat berupa perbuatan hukum atau perbuatan nyata. Perbuatan hukum maksudnya membuat perjanjian, sedangkan nyata. Contohnya memadamkan kebakaran didalam rumah, semua perbuatan itu melakukan untuk dan atas nama orang yang diurus kepentingannya.
Zaakwaarneming merupakan perbuatan jasa yang tidak didasarkan pada suatu perhitungan uang, tetapi kepatutan. Lain halnya dengan pemberian kuasa, maka untuk adanya itu disyaratkan suatu perintah. Oleh karena itu, sebagai akibat mengurus kepentingan orang lain, wakilnya itu tidak mendapatkan upah, didalam pemberian kuasa dapat diperjanjikan upah. Selain itu, dari Zaakwaarneming lahir perikatan sebagai berikut:
a.    Karena Zaakwaarneming telah melibatkan dirinya dalam suatu urusan, maka ia mempunyai kewajiban untuk melanjutkan urusan itu, sampai orang yang diwakilinya dapat bertindak sendiri. Ia mempunyai kewajiban sebagai orang pemegang kuasa (pasal 1354 ayat (3) KUH Perdata), dan ia harus menjalankan sebagaimana dijalankan oleh seorang bapak rumah tangga yang baik, dan jika melalaikan ia diwajibkan untuk memeberikan ganti rugi, yang dapat diringankan oleh hakim menurut keadaan yang telah dilihatkanya dalam urusan itu (pasal 1356 KUH Perdata). Ia tidak mempunyai hak untuk meminta upah karena Zaakwaarneming dianggap sebagai suatu kewajiban sosial (gotong royong).
b.    Pihak yang diwakili hanya mempunyai kewajiban bilamana Zaakwaarneming itu telah dijalankan dengan baik. Menurut ketentuan pasal 1357 KUH Perdata, yang diwakili mempunyai kewajiban :
1)      Jika Zaakwaarneming telah bertindak untuk dan atas nama yang diwakili, maka perikatan-perikatan harus dipenuhi oleh yang diwakili.
2)      Jika Zaakwaarneming telah bertindak atas nama sendiri maka yang diwakili harus memberikan ganti rugi kepadanya.
3)      Yang diwakili harus mengganti segala pengeluaran yang berfaedah atau perlu. Bahkan menurut Purwahid Patrik (1994:72), Zaakwaarneming berhak menahan barang (hak referensi) sebelum menerima ganti kerugian.
Mengenai kewajiban Zaakwaarneming disebutkan dalam pasal 1355 KUH Perdata. Zaakwaarneming demi undang-undang memikul kewajiban yang harus dipikulnya seandainya dikuasakan dengan surat pemberian kuasa, yaitu sebagai berikut:
a.       Wajib menyelesaikan urusan yang diurusnya itu, wajib memberi laporan pertanggungjawaban sebagaimana seorang wakil berdasarkan perjanjian harus berbuat atas kewajiban itu. Sebaliknya undang-undang juga memberi kewajiban kepada dominus untuk memberi ganti rugi dan memenuhi perikatan yang telah dibuat oleh gestor atas namanya, seperti ditentukan oleh pasal 1357 KUH Perdata.
b.      Bertindak sebagai bapak rumah tangga yang baik, seperti disebut kan dalam pasal 1356 KUH Perdata.[3]
2.      Pembayaran tanpa hutang (Overschuldig de Betaling)
Mengenai perikatan semacam ini diatur dalam pasal-pasal sebagai berikut:
a.    Pasal 1359 ayat (1) KUH Per:
“Tiap-tiap pembayaran memperkirakan adanya suatu utang, apa yang telah dibayarkan dengan yang telah dibayarkan dengan tidak diwajibkan dapat dituntut kembali.”
b.    Pasal 1360 KUH Per:
“Barang siapa khilaf atau dengan mengetahuinya telah menerima suatu yang tidak harus dibayarkan padanya, diwajibkan mengembalikan barang yang tak harus dibayarkan itu kepada orang dari siapa ia telah menerimanya.”
c.    Pasal 1361 KUH Per:
“Jika seseorang yang secara khilaf mengira bahwa ia berutang membayar suatu utang maka ia adalah berhak menuntut kembali dari si berpiutang apa yang telah dibayarkannya.”
Dalam hal ini yang dimaksud dengan pembayaran sangat luas tidak hanya pembayaran uang, tetapi juga pemenuhansetiap perikatan. Ini berarti pengikatan untuk memberikan barang atau untuk membuat sesuatu. Kalau prestasi untuk membuat sesuatu, maka prestasi itu sendiri tidak dapat diuntut kembali kecuali nilainya.
Sebagaimana diisyaratkan oleh pasal 1360 KUH Per, untuk dapat menuntut kembalinya pembayaran haruslah ada faktor “khilaf” didalam perbuatan itu. Berdasarkan ketiga pasal tersebut, ada tiga bentuk pembayaran yang tidak diwajibkan, yaitu:
a.       Pembayaran tanpa adanya utang
b.      Pembayaran kepada orang yang bukan berpiutang
c.       Pembayaran oleh orang yang bukan berutang.
Terhadap ketiga bentuk diatas terjadi suatu perikatan untuk membayar kembali. Penuntutan untuk membayar kembali dalam Hukum Romawi disebut condictio indebiti.
Dalam praktik yang banyak terjadi adalah dalam bentuk yang pertama, yaitu pembayaran tanpa adanya utang dengan contoh sebagai berikut:
a.       Seorang membayar karena kekhilafan suatu utang yang telah dibayarnya.
b.      Debitur telah mengetahui bahwa ia telah membayar utangnya, tetapi karena kuintansi pembayaran telah hilang, maka untuk mencegah segala kesulitan, ia membayar lagi. Dalam hal ini tidak berlaku Pasal 1359 KUH Per, melainkan Pasal 1362 KUH Per.
c.       Pemenuhan suatu perikatan yang batal karena hukum. Misalnya, suatu persetujuan dengan sebab yang terlarang atau suatu persetujuan tidak dalam bentuk yang diwajibkan.[4]
D.    Perbuatan Melawan Hukum (Onrechtmatige Daad)
Istilah Belanda onrechtmatige daad tidak hanya diterjemahkan pada perbuatan melawan hukum. Istilah ini juga bisa merujuk pada:
1.    Perbuatan yang bertentangan dengan hukum.
2.    Perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum.
3.    Perbuatan yang melanggar hukum.
4.    Tindakan melawan hukum.
5.    Penyelewengan perdata.
Semua istilah tersebut hakikatnya bersumber pada ketentuan pasal 1365 KUH Perdata yang menyatakan bahwa, tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut. Selanjutnya, meurut pasal 1366 KUH Per, setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Menurut pasal 1367 ayat (1) KUH Per, seseorang tidak hanya bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Berdasar ketentuan pasal 1365 KUH Per, dapat diketahui bahwa suatu perbuatan melawan hukum baru dapat dituntut penggantian kerugian apabila telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
1.    Perbuatan itu harus melawan hukum
Suatu perbuatan adalah merupakan perbuatan melawan hukum apabila berlawanan dengan:
a.    hak orang lain, atau
b.    kewajiban hukumnya sendiri, atau
c.    kesusilaan yang baik, atau
d.   keharusan yang harus diindahkan dalam pergaulan hidup masyarakat mengenai orang lain atau benda.
2.    Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian
Kerugian akibat perbuatan melawan hukum bisa berwujud kerugian materiel (dapat dinialai dengan uang) dan kerugian immateriel (tidak dapat dinialai dengan uang). Denagan denikian kerrugian akibat perbuatan melawan hukum tidak hanya terbatas pada keugian yang ditujukan pada  kekayaan harta benda, tetapi juga kerugian yang ditujukan pada tubuh, jiwa, dan kehormatan manusia.
3.    Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan
Kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kelalaian. Kesengajaan berarti seseorang melakukan suatu perbuatan dan perbuatan tersebut berniat untuk membuat suatu akibat. Sedangkan kelalaian berarti seseorang tidak melakukan suatu perbuatan, padahal menurut hukum ia harus berbuat atau melakukan suatu perbuatan. Jadi, dalam kesengajaan pelaku menyadari sepenuhnya mengenai akan adanya akibat hukum dari perbuatannya, sementara dalam kelalaian pelauku melupakan kewajibannya dan ia dianggap telah melawan hukum.
4.    Perbuatan itu harus ada hubungan kausal (sebab-akibat)
Hubungan kausal merupakan hubungan sebab-akibat antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Hubungan klausal ini tersimpul dalam ketentuan pasal 1365 KUH Per, yang mengatakan bahwa, perbuatan yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian. Oleh karena itu, kerugian itu harus timbul sebgai kaibat dari perbuatan seseorang. Jika tidak ada perbuatan (sebabnya), maka tidak ada kerugian (akibatnya).
         Secara garis besar, akibat dari suatu perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian. Kerugian sebagia kaibat dari perbuatan melawan hukum diharuskan supaya diganti oleh irang yang karena salahnya menimbulkan kerugia tersebut, atu oleh pelaku perbuatan melawan hukum. Dengan demikian, pasal 1365 KUH Per mengatur tentang kewajiban bagi si pelaku  perbuatan melawan hukum untuk mengganti kerugian yang timbul karenanya di satu pihak dan hak untuk menuntut penggantian kerugian bagi orang yang dirugikan.[5]
BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Berdasarkan buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tentang perikatan, rumusan pasal 1233 menyatakan bahwa “Perikatan lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang”. Dengan adanya pasal tersebut dapat diketahui bahwa perikatan tidak hanya lahir dari perjanjian melainkan juga lahir dari undang-undang.
Perkatan-perikatan yang lahir dari undang-undang antara lain adalah, hubungan perikatan yang lahir dari perbuatan lain yang terdiri dari, penyelenggaraan kepentingan orang lain, pembayaran tanpa hutang dan perikatan bebas.
Perbuatan melawan hukum atau yang sering kita dengar dalam Istilah Belanda onrechtmatige daad. Istilah ini juga bisa merujuk pada, perbuatan yang bertentangan dengan hukum, perbuatan yang bertentangan dengan asas-asas hukum, perbuatan yang melanggar hukum, tindakan melawan hukum, dan penyelewengan perdata.
B.     Saran
Penulis berharap dari hasil pembuatan makalah kami dapat diambil manfaatnya, khususnya bagi mahasiswa UIN Walisongo dan umumnya bagi siapa saja. Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan menjadi bahan referensi dalam pembuatan makalah di tahun-tahun berikutnya. Dalam pembuatan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu, kami dari penulis sangat menantikan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Setiawan, I Ketut Oka. 2015. Hukum Perikatan. Jakarta: Sinar Grafika.
Simanjuntak. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenamedia Group.
Suharnoko. 2015. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, Edisi II. Jakarta: Prenadamedia Group.
Tim Visi Yustisia. 2015. KUH Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) & KUHA Perdata (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata). Jakarta: Transmedia Pustaka.
Tutik, Triwulan Titik. 2014. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Prenamedia Group.
komunitasgurupkn.blogspot.com


[1] komunitasgurupkn.blogspot.com
[2] Suharnoko, Hukum Perjanjian: Teori dan Analisis Kasus, Edisi II, Jakarta: Prenadamedia Group, 2015,  hlm. 112-114.
[3] Ketut oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta:Sinar Grafika), 2016, hal.91-95
[4] Ketut oka Setiawan, Hukum Perikatan, (Jakarta:Sinar Grafika), 2016, hal.95.
[5] Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Prenamedia Group, 2015, hlm. 303-305.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.