Ads Top

Makalah Sumber-sumber Hukum

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Sumber Hukum
Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala atau apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.[1]Sumber hukum dapat kita tinjau dari segi materiil dan formil.
B.     Sumber Hukum Materiil
Sumber hukum meteriin adalah sumber hukum yang menentukan isi kaidah hukum, dan terdiri atas:
a.       Perasaan hukum sesoeorang atau pendapat umum,
b.      Agama,
c.       Kebiasaan, dan
d.      Politik hukum dari pemerintah.
Sumber hukum materiil, yaitu tempat materi hukum itu diambil. Sumber hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum.
Sumber hukum materiil dapat ditinjau dari pelbagai sudut, mislnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filosofi dan sebagainya.[2]
1.      Sumber Hukum dalam arti Ekonomi
Seorang ahli ekonomi mengatakan, bahwa kebutuhan-kebutuhan ekonomi dalam masyarakat itulah yang menyebabkan timbulnya hukum.[3]
2.      Sumber Hukum dalam Arti Sejarah
Sumber hukum dalam arti sejarah adalah sumber dari mana pembentuk undang-undang memperoleh bahan untuk membentuk undang-undang dilihat aspek sejarah. Contohnya, Code Civil Prancis merupakan sumber hukum bagi Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum Perdata) Belanda. Hal ini karena Prancis pernah menduduki Belanda dan memberlakukan Code Civil, dimana ketika belanda membentuk Burgerlijk Wetboek banyak bahan yang diambildari Code Civil Prancis itu. Demikian pula, Burgerlijk WetboekBelanda merupakan sumber hukum bagi Burgerlijk Wetboek Hindia Belanda.
Sumber hukum dalam arti sejarah ini memiliki kaitan erat dengan penafsiran sejarah, khususnya penafsiran sejarah hukum.

3.      Sumber Hukum dalam Arti Sosiologis
Sumber hukum dalam arti sosiologis adalah faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif, misalnya keadaan-keadaan ekonomi, politik, pandangan agama, dan sebagainya, yang memengaruhi pembentuk undang-undang pada saat pembuatan aturan.

4.      Sumber Hukum dalam Arti Filosofi
Sumber hukum dalam arti filosofi, menurut L.J. Van Apeldoorn mempunyai dua arti, yaitu (1) sebagai sumber untuk isi hukum, dan (2) sebagai sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum. Dua arti tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.       Dalam arti sebagai sumber untuk isi hukum, yaitu sebagai ukuran untuk menguji hukum agar dapat mengetahui adakah ia “hukum yang baik”?. Dalam pasal 2 UU No. 10 tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, dikatakan bahwa “Pancasila merupakan sumber dari segala hukum negara”. Kata “sumber” disini dapat diartikan sebagai sumber hukum dalam arti filosofi. Dengan dmikian, Pancasila merupakan sumber hukum dari arti filosofi dari segala hukum Negara. Pancasila menjadi ukuran untuk menguji hukum Negara agar dapat mengetahui adakah ia “hukum (Negara) yang baik”.
b.      Dalam arti sebagai sumber kekuatan mengikat dari hukum. Menurut Hugo de Groot. “sumber hukum adalah akal (ratio) sumber kekuatan mengikat adalah Tuhan”.[4]

C.    Hukum Formil
Sumber hukum formil merupakan tempat atau sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Hal ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum itu berlaku.
Sumber hukum formil antara lain:
a.       Undang-undang (Statute)[5]
Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara.
Menurut Buys undang-undang itu mempunyai dua arti, yaitu:
1.      Undang-undang dalam arti formil
Undang-undang dalam arti formil adalah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya, misalnya: dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan parlemen.
2.      Undang-undang dalam arti materiil
Undang-undang dalam arti materiil adalah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat langsung setiap penduduk.
b.      Kebiasaan (custom)[6]
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang terus di lakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila sesuatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang di lakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum. Dengan demikian, timbulah suatu kebiasaan hukum yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
      Contoh: apabila seorang komisioner sekali menerima sepuluh persen dari hasil penjualan atau pembelian sebagai upah dan hal ini terjadi berulang-ulang dan juga komisioner yang lain oun menerima upah yang sama yaitu sepuluh persen, maka timbul kebiasaan yang lambat laun berkembang menjadi hukum kebiasaan.
c.       Keputusan hakim (yurisprudensi)[7]
Peraturan pokok yang pertama pada zaman hindia belanda dahulu adalah Algemene Berpalingen van Wetgeving voor Indoonesia yang disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan umum tentang peraturan perundangan untuk Indonesia).
A.B. ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 yang termuat dalam staatsblad 1847 no. 23, dan hingga ini masih berlaku berdasarkan pada pasal II Aturan Peralihan  Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa segala badan Negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Menurut pasal 22 A.B. hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa peraturan perundangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak mengadili.
Dari ketentuaan pasal 22 A.B. ini jelaslah, bahwa seorang hakim mempunyai hak membuat peraturan sendiri untuk menyelesaikan suatu perkara. Dengan demikian, apabila undang-undang ataupun kebiasaan tidak memberi peraturan yang dapat dipakainya untuk menyelesaikan perkara, maka hakim harulah membuat peraturan sendiri.
Keputusan hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan pasal 22 A.B. menjadi dasar keputusan hakim lainnya untuk mengadili perkara. Keputusan hakim tersebut akhirnya menjadi sumber hukum bagi pengadilan yang biasa disebut hukum yurisprudensi.
Jadi, yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim yang lain mengenai masalah yang sama.
d.      Pejanjian[8]
Dalam pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata ditentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.
Kata “semua” menunjukan bahwa dalam hukum perjanjian dan system terbuka, yaitu orang boleh membuat perjanjian apa saja, asal memenuhi syarat-syarat sahnya sebagaimana yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.
Perjanjian antara kedua pihak, pertama-tama merupakan sumberhukum bagi mereka yang membuatnya. Rumusan pasal 1338 ayat 1 menyatakan “mengikat sebagai undang-undang bagi pihak yang membuatnya.”, jadi hanya mengikat pada pihak yang membuatnya saja.
Selamjutnya, apabila perjanjian semacam itu sering dibuat maka dapat terbentuk hukum kebiasaan mengenai bentuk perjanjian sedemikian.
Oleh Apeldoorn, perjanjian-bersama-sama dengan peradilan dan ajaran hukum- didak dipandang sebagai sumber hukum. Melainkan hanya sebagai faktor –faktor yang membantu pembentukan hukum. Alasannya karena perjanjian hanya mengikat para pihak yang membutanya, berbeda dengan undang-undang yang mengikat semua orang.
e.       Traktat (Treaty)[9]
Apabila dua orang mengatakan kata sepakat (consensus)  tentang suatu hal maka mereka itu lalu mengadakan perjanjian. Akibat dari perjanjian itu adalah kedua belah pihak terikat pada isi dari perjanjian yang disepakatinya.
Hal seperti itu disebut pacta sunt servanda yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditepati.
Perjanjian yang dilakukan oleh dua Negara atau lebih disebut perjanjian antarnegara atau perjanjian internasional ataupun traktat. Traktat juga mengikat warga Negara dari Negara yang bersangkutan.
Jika hanya diadakan oleh dua Negara disebuat traktat bilateral , misalnya perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Rakyat China tentang dwi kewarganegaraan.
Jika diadakan oleh lebih dari dua Negara disebut traktat multilateral, misalnya perjanjian internasional tentang perjanjian bersama Negara-negara Eropa NATO (Nort Atlantic treaty organization/ pakta pertahanan Atlantik Utara) yang diikuti oleh beberapa Negara Eropa.
Apabila ada traktat multilateral memberikan kesempatan kepada Negara yang pada mulanya tidak ikut serta tetapi kemudian menjadi pihaknya maka traktat tersebut adalah traktat kolektif  atau terbuka, misalnya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
f.       Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)[10]
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum.
Dalm penetapan yang akan menjadi asar keputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana hukum mengenai soal yang harus diselesaikannya ; apalagi sarjana hukumitu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.
Terutama dalam hubungan internasional pendapat para sarjana hukum mempunyai pengaruh yang besar. Bagi hukum intenasional pendapat para sarjana hukum merupakan sumber hukum yang sangat penting.
Mahkamah internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (statue of the international court of  justice) pada pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memutus suatu perselisiahan dapat mempergunakan beberapa pedoman antara lain sebagai berikut:
a.       Perjanjian-perjanjian internasional (International conventions)
b.      Kebiasaan-kebiasaan internasional (international customs)
c.       Asas-asas hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (the general principles of law recognized by civilized nations)
d.      Keputusan hakim (judicial decisions) dan pendapat sarjana hukum






[1] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm.87
[2] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.13.
[3] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.13.
[4] Donald Albert Rumokoy dan Frans Maramis, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm.87-89.
[5] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.14.
[6] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.15.
[7]Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.15.

[8] Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, Iwan, Ahmad Fauri. Hukum dalam Pendekatan Filsafat,(Jakarta: Kencana, 2016), hlm. 109-110
[9] Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.16.
[10]Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Sinar Grafika, 2016), hlm.17.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.