Pengertian Ta'wil dan Tarjamah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Quran sebagai pedoman hidup umat islam mempunyai peranan sangat penting. Al-Quran perlu dibaca dan dipahami dan lalu diamalkan agar perilaku kita sesuai dengan ajaran yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad, yaitu ajaran yang sesuai isi kandungan al-Quran.
Namun dalam memahami al-Quran tidak dapat semua umat Islam dapat melakukannya. Untuk itu perlu dilakukan kajian dalam menentukan makna al-Quran. Meskipun penentuan makna tersebut tidak mutlak kebenarannya, karena al-Quran adalah kalam Ilahi yang mempunyai makna luas dan hanya Allah sendirilah yang mempunyai hak untuk memaknainya.
Kita sebagai manusia hanya dapat berusaha sebatas kemampuan yang diberikan oleh Allah. Ulama’ telah merumuskan kaidah dalam sebuah bidang keilmuan yaitu ilmu tafsir yang menjadi alat untuk mengetahui makna al-Quran.
Dalam kesempatan ini penulis berkesempatan untuk menjelaskan apa itu makna tafsir, ta’wil, dan terjemah. Antara tiga istilah ini sering disalah pahami oleh sebagian kaum muslimin. Untuk dalam makalah ini penulis akan memaparkannya agar supaya jelas dan semoga dapat sedikit mengurangi kesalahpahaman oleh sebagian kaum muslimin.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari tafsir, ta’wil, dan tarjamah ?
2. Bagaimana perbedaan antara tafsir, ta’wil dan tarjamah?
3. Apa yang dimaksud dengan tafsir bil ma’tsur dan tafsir bir ra’yi?
4. Apa saja yang termasuk dalam corak tafsir?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Tarjamah
1. Tafsir
Tafsir menurut bahasa mempunyai makna audlaha (menerangkan) dan bayyana(menjelaskan). Sementara al-Jarjani memaknai kata tafsir itu dengan al-kasyf wa al-izhhar (membuka dan menjelaskan atau menampakkannya).[1]Al-Quran menggunakan istilah tafsir dalam makna penjelasan, sebagaimana dalam Qs. Al-Furqan : 33.
“ Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu(membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Qs Al-Furqan : 33).
Definisi tafsir banyak dikemukakan oleh Ulama dengan ungkapan yang beragam. Namun pada intinya definisi tersebut-tersebut saling melengkapi. Az-Zarkasyi mendefinisikan tafsir sebagai ilmu tentang turunnya ayat al-Quran, surat-surat kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang turun bersamanya, makiyyah dan madaniyahnya, muhkam dan mutasyabihatnya, naskh dan mansukhnya, ‘am dan khasnya, mutlaq dan muqayyadnya serta mujmal dan mufashshalnya, dan lain-lain.[2]
2. Ta’wil
Ta’wil menurut bahasa adalah kembali kepada asal. atau menjelaskan suatu perkataan. Secara istilah, Ulama mutakhkhirin mendefinisikan ta’wil dengan memalingkan lafadh dari makna yang tersurat kepada makna yang tersirat karena ada dalil yang mengkehendakinya. Sebagaimana doa Nabi kepada Ibnu ‘Abbas “Allahumma faqqih-hu fi al-din wa ‘allim-hu al-ta’wila”.
Ta’wil menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafadhdari makna dzahir kepada makna yang tidak dzahir yang juga dikandung oleh lafadh tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.[3]Menurut pengertian diatas, ta’wil adalah menjelaskan makna ayat berdasarkan makna yang tidak dzahir atau tersirat sebab ada yang menunjukkannya.
Sementara Ulama salaf mendefinisikan ta’wildengan menjelaskan makna asal suatu ayat atau kalimat yang ada dalam al-Quran, sesuai dengan kaidah dasar dan berdasarkan penelitian yang mendalam. Sebagian yang lain mendefinisikan ta’wil sama dengan tafsir. Sementara lainnya membedakan antara tafsir dan takwil; tafsir bearti menjelaskan lafadh dengan riwayah sementara takwil adalah menjelasankan lafadh dengan dirayah,tafsir adalah menjelaskan makan-makna dengan ‘ibarah sementara takwil menjelaskan dengan isyarah. [4]
3. Tarjamah
Terjemah adalah pemindahan lafadh lafadh dari suatu bahasa ke bahasa lain, atau menjelaskan suatu makna ungkapan yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain. Para Ulama membagi terjemah kepada dua macam, yaitu sebagai berikut.
1. Terjemah harfiyah, yaitu memindahkan suatu ungkapan dari satu bahasa ke bahasa lain di mana dalam pemindahan itu tetap terjaga dan terpelihara susunan, tertib dan semua makna bahasa yang diterjemahkan.
2. Terjemah tafsiriyah, yaitu menjelaskan suatu ungkapan dan maknanya yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain, tanpa menjaga atau memelihara susunan serta tertib bahasa aslinya, dan jugatidak pula mengungkapkan semua makna yang dimaksudkan oleh bahasa aslinya.
Al-Quran sebagai pedoman hidup bagi umat Islam sangat perlu untuk diterjemahkan, meskipun tidak ada bahasa yang dapat menandingi dan mewakili makna yang terkandung di dalamnya.
B. Perbedaan Tafsir dan Ta’wil
Ulama’ tidak bersepakat mengenai perbedaab tafsir dan ta’wil. Ulama’ mutaqaddimin seperti Abu Ubaidah mengatakan bahwa tafsir dan ta’wil mempunyai makna yang sama.
Dan sebagian ulama’ ada juga yang berpendapat bahwa tafsir dan tawil berbeda. Meskipun demikian mereka tidak sependapat dalam menjelaskan perbedaan tersebut, yaitu sebagai berikut.
1. Sebagian berpendapat tafsir lebih umum dari ta’wil.Sebab tafsir untuk al-Quran dan lainnya sedangkan ta’wil lebih banyak digunakan untuk al-Quran.
2. Tafsir digunakan untuk mufradat (kosakata), sedangkan ta’wil digunakan untuk menunjukkan makna jumlah (kalimah).[5]
3. Di kalangan ulama’ mutaakhkhirin ta’wil diartikan kepada “memalingkan makna sutu lafadh dari makna yang rajih (kuat) kepada makna yang marjuh (kurang kuat) karena disertai dalil yang menunjukkannya”. Sedangkan tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna yang kuat.
4. Ada juga ulama’ yang berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan yang berdasarkan riwayah, sedangkan ta’wil berdasarkan dirayah.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui ada persamaan dan perbedaan antara istilah tafsir dan ta’wil. Persamaan kedua istilah tersebut adalah sama-sama mencari maksud yang terkandung dalam ayat al-Quran. Dan perbedaannya adalah tafsir menjelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna dhahir sedangkan ta’wil mejelaskan makna suatu ayat berdasarkan makna tidak dzahir. Atau tafsir menjelaskan makna ayat berdasarkan sunnah Nabi sedangkan ta’wil tidak ada penjelasan sunnah Nabi mengenai makna ayat tersebut.[6]
1. Tafsir Bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur'an atau riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufassir. Yaitu menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an ayat dengan ayat), Al-Qur'an dengan Sunnah, perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau dengan pendapat tokob-tokoh besar tabi'in. Tafsir bil-ma'tsur adalah metode penafsiran yang harus diikuti dan dijadikan pedoman dalam menafsirkan Al-Qur'an, karena ia merupakan cara yang paling aman dalam memahami kitab Allah.[7]
Pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat. Mufassir yang mengambil metodologi seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu atsar-atsar atau riwayat yang ada tentang makna ayat, kemudian atsar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna untuk diketahui selama tidak ada riwayat yang sahih mengenainya.
Ibnu Taimiyah berkata, "Kita wajib yakin bahwa Nabi telah menjelas kan kepada para sahabatnya makna-makna Al-Qur' an sebagaimana telah menyampaikan lafazh-lafazhnya.” Firman Allah: Agar kamu menerangkun kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka. (An-Nahl: 44).
2. Tafsir Bir-Ra’yi
Tafsir bir-ra'yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya semata. Kategori penafsiran seperti ini dalam memahami Al-Qur'an tidak sesuai dengan ruh syari'at yang didasarkan pada nash-nashnya. Rasio semata yang tidak disertai bukti-bukti akan berakibat pada penyimpangan terhadap Kitabullah. [8]
Kebanyakan orang yang melakukan penafsiran demikian adalah ahli bid'ah, penganut madzhab yang bathil. Mereka menggunakan Al-Qur'an untuk ditakwilkan menurut pendapat pribadi yang tidak berpijak pada pendapat atau penafsiran ulama salaf, sahabat dan tabi'in. Golongan ini telah menuliş sejumlah kitab tafsir menurut metodologi madzhab mereka seperti tafsir Abdurrahman bin Kaisam Al-Asam, Al-Jubba'i, Abdul Jabbar, Ar-Rummani, dan lainnya.
Di antara mereka ada yang menulis tafsirnya secara indah dengan menyisipkan pemikiran madzhabnya dalam untaian kalimat indah yang dapat memperdaya banyak orang, sebagaimana yang dilakukan oleh penulis.Tafsir Al-Kassyaf dalam menyisipkan ajaran Mu'tazilahnya, sekalipun ada juga yang menggunakan kata-kata yang ringan dari yang lain. Di antara mereka ada juga ahli kalam (kaum teolog) yang menakwilkan ayat-ayat sifat" dengan bingkai pemikiran madzhabnya.
Menafsirkan Al-Qur'an dengan ra'yu (rasio) dan ijtihad semata tanpa ada dasar yang shahih adalah haram, tidak boleh dilakukan. Firman Allah, "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang padanya kamu tidak mempunyai pengetahuan. " (Al-Israa: 36).
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa berkata tentang Al-Qur'an menurut pendapatnya sendiriatau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menempati tempat duduknya di dalam neraka.". Dalam riwayat lain dengan redaksi berbeda dinyatakan, "Barangsiapa berkata tentang Al-Qur'an dengan rasionya, walaupun ternyata benar, ia telah melakukan kesalahan." Oleh sebab itu, golongan salaf keberatan untuk menafsirkan Al-Qur'an dengan sesuatu yang tidak mereka ketahui.[9]
D. Corak Tafsir Al Quran
Karena tafsir merupakan karya manusia yang selalu diwarnai pikiran mazhab, dan atau disiplin ilmu yang ditekuni oleh mufassirnya maka buku-buku tafsir mempunyai berbagai corak pemikiran dan mazhab. Ada mufassir yang konsen terhadap hukum Islam, maka corak penaísirannya cenderung kepada fiqh bahkan mendukung mazhab hukum tertentu. Ada pula mufassir yang sangat konsen dalam bidang tasawuf, filsafat, sains, dan atau keadaan masyarakat di mana mufassir itu berada, maka penafsirannya bercorak sufi, falsafi, ilmi, dan Ijtima. Disini akan dijelaskan tentang corak tafsir sufi, falsafi, fiqh, ilmi, dan al adabi wal Ijtima’i.[10]
1. Tafsir Shufi
Suatu karya tafsir yang diwarnai oleh teori atau pemikiran tasawuf, baik tasawuf teoritis (at-tashawuf an-nazhar) maupun tasawuf praktis (at-tashawuf al 'ámali). Yang dimaksud dengan tasawuf teoretis adalah tasawuf teori yang didasarkan atas pengkajian dan teori-teori tasawuf seperti wahdah al wujud, al-hulul, dan ittihad. Sedangkan tasawuf praktis adalah tasawuf yang didasarkan atas zuhud dan menghabiskan waktu dalam rangka ketaatan kepada Allah, seperti kesungguhan dalam melawan hawa nafsu dan berdzikir kepada Allah serta segala sesuatu yang dapat mendukung kedua hal tersebut.
Kedua macam tasawuf ini selalu mewarnai suatu karya tafsir, terutama pengarang tafsir yang menekuni hal tersebut. Tafsir tasawuf nazhari selalu mengaitkan penafsirannya dengan teori tasawuf untuk mendukung teorinya itu. Tafsir shift amali selalu melihat suatu ayat dari keharusan manusia berhati-hati dengan hawa nafsu dan keharusan banyak melakukan dzikir kepada Allah, walaupun secara zahir ayat itu tidak menunjukkan kepada hal tersebut.
2. Tafsir Falsafi
Suatu karya tafsir yang bercorak filsafat. Artinya, dalam menjelaskan makna suatu ayat, mufassr mengutip atau merujuk pendapat para filsuf. Persoalan yang diperbincangkan dalam suatu ayat dimaknai atau didefinisikan berdasarkan pandangan para ahli filsafat. Makna suatu ayat ditakwilkan sehingga sesuai dengan pandangan mereka.
3. Tafsir
Penafsiran Alquran yang bercorak fiqh. Di antara isi kandungan Alquran adalah penjelasan mengenai hukum, baik ibadah maupun muamalah. Ketentuan-ketentuan hukum tersebut harus ditaati oleh manusia. Dalam penafsiran Alquran, ada di antara mufassir yang lebih tertarik dengan ayat-ayat hukum tersebut, sehingga ayat-ayat hukum mendapat perhatian dan komentar yang lebih banyak dari ayat lainnya. Bahkan ada di antara mereka yang menulis tafsr khusus ayat-ayat hukum.
Tafsir fiqhi ini selain lebih banyak berbincang mengenai persoalan hukum, ia juga kadang-kadang diwarnai oleh ta'ashshub (fanatik) penulisnya terhadap mazhab yang dianut sehingga coraknya tidak hanya figh, tetapi juga mazhabi. Sebagai contoh hal itu dapat dilihat dalam perbincangannya mengenai persoalan basmalah, apakah bagian dari Surah Al-Fâtihah atau bukan, dan hukum membacanya dalam shalat. Dengan demikian, buku-buku tafsir fiqhi ini dapat pula dikategorikan kepada corak lain, yaitu tafsir Fiqh Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
4. Tafsir ‘Ilmi
Penafsiran Alquran yang bercorak ilmu pengetahuan modern, khususnya sains eksakta. Penafsiran Alquran yar bercorak ini selalu mengutip teori-teori imiah yang berkaitan dengan ayat yang sedang ditafsirkan.
Alquran memang banyak berbicara tentang fenomena alam yang menjadi objek kajian ilmu pengetahuan modern, seperti biologi, embriologi, geologi, astronomi, pertanian, peternakan, dan lain sebagainya. Ada di antara mufassir yang tertarik menjelaskan ayat-ayat Alquran yang berkaitan dengan hal tersebut.
Dan dalam menjelaskannya, mufassir menggunakan pendekatan ilmiah dengan menjelaskan ayat Alquran sesuai dengan teori ilmiah yang merupakan hasil penemuan para ilmuan melalui penelitian yang mereka lakukan.
5. Tafsir Al-adabi Wa Al-ijtima'i
Istilah al-adabi wa al-ijtima'i terdiri dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtimâ'i. Secara harfiah al-adabi bermakna sastra dan kesopanan, sedangkan al-ijtimá'i bermakna sosial. Dengan corak ini, mufassir mengungkap keindahan dan kcagungan Alquran yang meliputi aspek balaghah, mukjizat, makna, dan tujuannya.
Mufassir berusaha menjelaskan masalah-masalah sosial yang diperbincangkan dalam Alquran dan mengaitkan dengan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat. la berusaha membcrikan memecahkan persoalan kemanusiaan pada umumnya dan umat Islam khususnya, sesuai dengan petunjuk Al quran yang dipahaminya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Tafsir adalah menjelaskan makna ayat al-Quran, keadaan, kisah, dan sebab turunnya ayat tersebut dengan lafadh yang menunjukkan kepada makna dhahir.
2. Ta’wil menurut istilah berarti “memalingkan suatu lafadh dari makna dzahir kepada makna yang tidak dzahir yang juga dikandung oleh lafadh tersebut, jika kemungkinan makna itu sesuai dengan al-Kitab dan Sunnah.
3. Terjemah adalah pemindahan lafadh lafadh dari suatu bahasa ke bahasa lain, atau menjelaskan suatu makna ungkapan yang terdapat dalam suatu bahasa dengan menggunakan bahasa lain.
4. Perbedaan antara tafsir dan ta’wil adalah tafsir menjelaskan makna al-Quran berdasarkan makna yang kuat atau berdasarkan sunnah Nabi, sedangkan ta’wil menjelaskan makna al-Quran berdasarkan makna yang tidak kuat atau yang tidak ada penjelasan sunnah di dalamnya.
5. Tafsir bil-ma'tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada Al-Qur'an atau riwayat yang shahih sesuai urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufassir.
6. Tafsir bir-ra'yi ialah tafsir yang di dalam menjelaskan maknanya atau maksudnya, mufassir hanya berpegang pada pemahamannya sendiri, pengambilan kesimpulan (istinbath) pun didasarkan pada logikanya semata.
7. Ada berbagai macam corak tafsir yang digunakan oleh para mufassir. Diantaranya adalah corak tafsir sufi, falsafi, fiqh, ilmi, dan al adabi wal Ijtima’i
DAFTAR PUSTAKA
Al Khattan, Syaikh Manna. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al Quran. Jakarta : Pustaka Al Kautsar.
Anshori. 2014. Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan). Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Yusuf, Kadar M. 2009. Studi Al-Quran. Jakarta : Amzah.
[1] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran, Jakarta : Amzah, 2009, hal. 126.
[2] Anshori, LAL, Ulumul Qur’an (Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan), Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. II, 2014, hal. 172
[3] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran,... hal. 129.
[4] Anshori, LAL, Ulumul Qur’an,... hal. 173.
[5] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran,... hal. 133.
[6] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Quran,... hal. 132- 134.
[7] Syaikh Manna Al Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta : Pustaka Al KAutsar) 2006, hlm. 434
[8] Syaikh Manna Al Khattan, Pengantar Studi Ilmu Al Quran, (Jakarta : Pustaka Al KAutsar) 2006, hlm. 440
[9] Syaikh Manna Al Khattan, Pengantar Studi….., hlm. 441
Tidak ada komentar: