Ads Top

Qira'at




BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Berdasarkan perbedaan dan keragaman dialek-dialek dalam Bahasa Arab, maka Al-Qur’an yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW akan menjadi sempurna kemukjizatannya, jika ia dapat menampung berbagai dialek dan macam-macam cara membaca Al-Qur’an tersebut sehingga mudah dibaca, dihafal, serta difahami oleh umat manusia. Sehingga, pada perkembangannya muncul, berbagai macam, qira’at yang belum tentu bisa dipertanggung jawabkan.
Qira’at merupakan cabang ilmu tersendiri dalam Ulumul Qur’an. Tidak banyak orang yang tertarik dengan ilmu qira’at. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu, diantaranya karena ilmu ini tidak berhubungan langsung dalam kehidupan sehari-hari, sebab ilmu qir’ah tidak mempelajari masalah-masalah yang berkaitan dengan halal dan haram atau hukum-hukum tertentu.
Dengan demikian, bahasan tentang qira’at menjadi penting dalam studi Al-Qur’an untuk mengetahui karakter tekstualitas Al-Qur’an sehingga dapat memperkuat argumentasi atau kemutawwatiran Al-Qur’an iu sendiri, serta dapat menolak tuduhan bahwa Al-Qur’an merupakan adopsi dari kitab-kitab sebelumnya karena memasukkan bacaan atau bahasa kitab sebelumnya.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Qira’at ?
2.      Bagaimana latar belakang timbulnya Qira’at ?
3.      Apa saja macam-macam Qira’at ?
4.      Bagaimana kegunaan mempelajari Qira’at terhadap istinbath hukum dalam Al-Qur’an ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.   Definisi Qira’at
Menurut bahasa, qira’at (قراءات) adalah bentuk jamak dari qira’ah (قراءة) yang merupakan isim masdar dari qaraa (قرأ), yang artinya : bacaan[1] Sedangkan berdasarkan pengertian terminologi, maka ada beberapa definisi yang dikemukakan para ulama’, antara lain :[2]
1.      Az-Zarqoni
Suatu mazhab yang dianut seorang iam qira’at yang berebda dengan lainnya dalam pengucapan al Qur’an serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-huruf ataupun dalam pengucapan bentuk-bentuknya.
2.      Ibnu Al Jazari
Ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbathkan kepada penukilnyaر
3.      Az-Zarkasyi
Qira’at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al Qr’an baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut seperti tahhfif (meringankan), tatsqil (memberatkan), dan lain-lain.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa qira’at adalah bentuk pengucapan kalimat Al Qur’an yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedan dialektis yang bersumber dari Rasulullah saw. Setiap Qira’at yang disandarkan kepada seorang imam memiliki kaidah-kaidah dialektika tertentu dan juga memiliki nuansa-nuansa tajwid yang berbeda-beda dalam rangka untuk memperindah bacaannya. Dan disini dapat dikatakan bahwa Qira’at dan tajwid merupakan dua ilmu berbeda tetapi sangat berkaitan erat. Ilmu Qira’at mengenai bentuk pengucapan sedangkan Ilmu tajwid mengenai bagaimana mengucapkan dengan baik.

B.   Latar Belakang Timbulnya Ilmu Qira’at
Qira’at sebenarnya telah muncul semenjak zaman Nabi Muhammad SAW masih ada, walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi diatas :
Pertama : Suatu ketika Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat al Qur’an. Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat al Furqon. Menurut Umar, bacaan Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya juga berasal dari Nabi. Seusai shalat Hisyam diajak menghadap Nabi seraya melaporkan peristiwa diatas. Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, nabi bersabda : “Memang begitulah al Qur’an diturunkan, sesumgguhnya al Qur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.[3]
Kedua : Di dalam riwayatnya, Ubay pernah bercerita : Saya masuk ke masjid untuk mengerjakan Shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat an Nahl, tetapi bacaanya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya : “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu ?” Ia menjawab, “Rasulullah SAW”. Kedua orang itu lalu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda : Baik. Kemudian, Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik.
Selanjutnya periodesasi qurra’ adalah sejak zaman sahabat hingga masa tabiin. Orang-orang yang menguasai al Qur’an ialah yang menerimanya dari orang-orang yang dipercaya dan dari imam ke imam yang akhirnya berasal dari Nabi. Sedangkan mushaf-mushaf tersebut tidaklah bertitik dan berbaris, dan bentuk kalimat di dalamnya mempunyai beberapa kemungkinan berbagai bacaan. Kalau tidak, maka kalimat itu harus ditulis pada mushaf dengan satu wajah yang lain dan begitulah seterusnya. Tidaklah diragukan lagi bahwa penugasan tentang riwayat dan penerimaan merupakan pedoman dasar dalam bab qira’at dalam al Qur’an. Kalangan sahabat sendiri dalam pengambilannya dari Rasul yang berbeda-beda. Ada yang membaca dengan satu huruf. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Kemudian mereka tersebar ke seluruh penjuru daerah.
Kebijakan Abu Bakar as Sidiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang telah disusun Zaid bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Inm Mas’ud, Abu Musa al Asy’ari, Miqdad bin Amr, Ubay bin Ka’ab dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qiraat yang kian beragam. Perlu dicatat, bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, kecuali pada dua hal saja, yaitu kronologis surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing.[4]
Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ ke berbagai penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qiraat yang semakin beragam. Lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan Arabia sehingga pada akhirnya perbedaan qiraat itu sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah al Yamamah dan yang kemudian dilaporkan kepada Utsman.
Ketika mengirim mushaf-mushaf ke seluruh penjuru kota, khalifah Utsman r.a mengirimkan pula para sahabat yang memiliki cara tersendiri dengan masing-masing mushaf yang diturunkan. Setelah para sahabat berpencar ke seluruh daerah dengan bacaan yang berbeda itu, para tabiin mengikuti mereka dalam hal bacaan yang dibawa oleh parasahabat tersebut. Dengan demikian, beranekaragamlah pengambilan para tabiin, sehingga masalah ini menimbulkan imam-imam qari’ yang masyhur yang berkecimpung di dalamnya, dan mencurahkan segalanya untuk qiraat dengan memberi tanda-tanda serta menyebarluaskannya.
Tatkala para qari’ pada masa tabiin yaitu pada awal abad 2 H tersebar ke berbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya daripada mengikuti qiraat imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebut diajarkan turun temurun dari guru ke guru, sehingga sampai pada imam-imam qiraat, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.Imam-imam qiraat bekerja keras sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya sehingga bisa membedakan antara bacaan yang benar dan salah. Mereka mengumpulkan qiraat, mengembangkan waja-wajah dan dirayah.[5]
Sesudah itu, para imam menyusun kitab-kitab mengenai qiraat. Orang pertama kali menyusun qiraat dalam satu kitab adalah Abu Ubaidilah al Qasim bin Salam. Ia telah mengumpulkan qiraat sebanyak 25 macam. Kemudian menyusul imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan 20 macam. Ada pula yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qiraat terus berkembang sampai masa Abu Bkar Ahmad bin Abbas bin Mujahid yang terkenal dengan nama Ibn Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam qiraat yang disesuaikan dengan tujuh imam qaraa’. Berkat jasanya dapat diketahui nama qira'at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.[6]


C.   Macam-Macam Qira’at
Dari segi kuantitas, yaitu Qira’at dilihat dari banyaknya imam yang meriwayatkannya. Dari segi kuantias qiraat dibagi menjadi 3 macam, yaitu sebagai berikut :[7]

a.       Qira’at Sab’ah (Qira’at Tujuh)
Qira’at sab’ah adalah Qira’at yang diriwayatkan oleh imam tujuh. Mereka adalah :
a)      Nafi’, nama lengkapnya Nafi’ al-Madani Ibnu Abdurrahman bin Abi Nu’ain Abu Ruwain al-Laitsi. Lahir pada tahun 70 H dan wafat pada tahun 169 H. Adapun dua orang perawi yang terkenal adalah :
Ø  Qalun, nama lengkapnya Abu Musa Isa bin Mina. Dia seorang qari’ di Madinah dan lahir pada tahun 120 H dan wafat pada tahun 205 H.
Ø  Warsy, nama lengkapnya Abu Sa’id Utsman bin Sa’id al Mishri. Dia seorang qira’ di Madinah dan lahir di Mesir pada tahun 110 H dan wafat pada tahun 197 H.
b)      Ibnu Katsir, nama lengkapnya Abu Ma’bad Abdullah bin Katsir al Makki. Dia termasuk generasi tabi’in yang lahir di Makkah pada tahun 120 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Al Bazzi, nama lengkapnya Abu Al Hasan Ahmad bin Muhammad bin Abdullah al Bazzi. Dia seorang qira’ di Makkah dan Muadzin di Masjidil Haram. Lahir pada tahun 170 H dan wafat pada tahun 250 H.
Ø  Qunbul, nama lengkapnya Abu Umar Muhammad. Lahir pada tahun 195 H dan wafat pada tahun 291 H
c)      Abu ‘Amr, nama lengkapnya Zabban bin al Ala bin al Mazani al Bashari. Dia meriwayatkan qira’at dan tabi’in dari Hijaz dan Iraq. Dia lahir di Makkah pada tahun 68 H dan wafat di Kuffah pada tahun 145 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Ad Duri, nama lengkapnya Abu Umar ad Duri. Wafat pada tahun 246 H
Ø  As Susi, nama lengkapnya Syu’aib Shaleh bin Ziyad as Susi. Wafat pada tahun 261 H.
d)     Ibnu ‘Amir, nama lengkapnya Abdullah bin ‘Amir ad Dimasyqi. Dia seorang imam qiro’ah dari Syam dan lahir pada tahun 21 H dan wafat di Damaskus pada tahun 118 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Hisyam bin ‘Ammar, nama lengkapnya Abu al Walid Hisyam bin ‘Ammar ad Dimasyqi. Dia seorang imam, khatib dan mufthi di Damaskus. Lahir pada tahun 153 H dan wafat pada tahun 254 H.
Ø  Ibnu Dzakwan, nama lengkapnya Abu Amr Abdullah bin Ahmad Basyir Ibnu Dzakwan. Dia seorang qari’ di Syam dan imam Masjid Jami’ Damaskus. Lahir pada tahun 173 H dan wafat pada tahun 242 H.
e)      ‘Ashim, nama lengkapnya ‘Ashim bin Abi an Nujud. Dia seorang qari’ yang terkenal di daerah Kuffah pada tahun 127 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Syu’bah, nama lengkapnya Abu Bakar bin ‘Iyasy Salim al Kufi. Lahir pada tahun 95 H dan wafat pada tahun 193 H.
Ø  Hafsh, nama lengkapnya Hasfh bin Sulaiman al Kufi. Lahir pada tahun 90 H dan wafat pada tahun 180 H.
f)       Hamzah, nama lengkapnya Hamzah bin Habib az Zayyat. Dia seorang qari’ yang cerdas dan wira’i. Lahir pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 150 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Khalaf, nama lengkapnya Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam al Bazzar. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 229 H.
Ø  Khallad, nama lengkapnya Abu Isa Khalid al Kufi. Wafat pada tahun 220 H.
g)      Ali Kisa’i, nama lengkapnyan Abu Hasan ‘Ali bin Hamzah an Nahwi. Dia menjadi imam di Kuffah dan lahir pada tahun 119 H dan wafat pada tahun 189 H. Adapun dua oerawinya yang terkenal adalah :
Ø  Abu al Haris, nama lengkapnya Abu al Haris al Laits bin Khalid. Wafat pada tahun 240 H.
Ø  Hafsh, ad Duri, nama lengkapnya Abu ‘Amr hafsh ad Duri. Wafat pada tahun 246 H.
b.      Qira’at ‘Asyrah (Qira’at Sepuluh )
Qira’at ‘Asyrah adalah Qira’at yang diriwayatkan oleh imam tujuh yang ditambah dengan tiga imam qira’at. Mereka adalah :
a)      Abu Ja’far, nama lengkapnya Yazid bin al Qa’qa’ al Makhzumi al Madani. Dia memperoleh Qira’at dari Abdullah bin Ayyasy bin Rabi’ah, Abdullah bin ‘Abasa, dan Abu Hurairah. Dia wafat pada tahun 130 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Isa bin Wirdan, nama lengkapnya Abu al Haris al Madani al Hidzai.Wafat pada tahun 160 H.
Ø  Ibnu Jammaz, nama lengkapnya Sulaiman bin Muslim bin Jammaz Abu ar Rabi’ az Zuhri al Madani. Dia wafat di Madinah pada tahun 170 H.
b)      Ya’qub, nama lengkapnya Ya’qub bin Ishaq bin Yazid Abdullah bin Abu Ishaq al Hadhrami al Bashri. Dia lahir di Bashrah pada rahun 117 H dan wafat pada tahun 205 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Ruwais, nama lengkapnya Muhammad bin al Mutawakkil Abu Abdullah Lu’Lu’ al Bashi. Wafat pada tahun 238 H
Ø  Ruh bin abdul mu’min nama lengkapnya Abu al hasan al Bashri an Nahwi al Hadzi. Wafat pada tahun 234  H.
c)      Khallaf bin Hisyam, nama lengkapnya Abu Muhammad Khilaf bin Hisyam bin Tsa’lab al Bazzaz al Baghdadi. Dia menerima qira’at dari Sulaiman bin Isa bin Habib. Lahir pada tahun 150 H dan wafat pada tahun 229 H. Adapun dua perawinya yang terkenal adalah :
Ø  Ishaq al Warraq, nama lengkapnya Abu Ya’qub al Marwazi. Wafat pada tahun 286 H.
Ø  Idris al Haddad, nama lengkapnya Abu al Hasan bin Abdu al Karim al Baghdadi. Dia lahir pada tahun 189 H.
c.       Qira’at Arba’at Asyrah (Qira’at empat belas)
Qira’at Arba’at Asyrah adalah Qira’at yang diriwayatkan oleh imam sepuluh yang ditambah dengan empat imam qira’at. Mereka adalah :
a)      Al Hasan al Bashri, ia adalah seorang tabiin yang terkenal kezahidannya. Wafat pada tahun 110 H.
b)      Muhammad bin Abdur Rahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahison, adalah guru Abi Amr. Wafat pada tahun 123 H.
c)      Yahya bin al Mubarak al Yazidi an Nahwi al Baghdadi, ia mengambil qira’at dari Abi Amr da Hamzah. Wafat pada tahun 202 H.
d)     Abu al Farj Muhammad bin Ahmad Asy Syanbudz. Wafat pada tahun 388 H. 
Kedua, dari segi kualitas, qira`at berdasarkan kualitas dapat dikelompokkandalam lima bagian:
        1.Qira`at Mutawatir,
yaitu qira`at yang diriwayatkan oleh orang banyak dariorang banyak yang tidak mungkin terjadi kesepakatan di antara merekauntuk berbohong.
      2.Qira`at Masyhur,
yakni qira’at yang memilki sanad sahih, tetapi tidak sampai kepada kualitas mutawatir. Qira`at ini sesuai dengan kaidah bahasaArab dan tulisan.
3.Qira`at Ahad,
yakni yang memiliki sanad sahih, tetapi menyalahi tulisanMushaf ‘Utsmani dan kaidah bahasa Arab, tidak memilki kemasyhuran, dantidak dibaca.
(Qira’at Aisyah dan Hafsah, Ibn Mas’ud, Ubay bin Ka’ab,Sa’ad bin Abi Waqqash, Ibn Abbas)
4.Qira’at Syadz (menyimpang)
 ,yakni qira’at yang sanadnya tidak sahih.
5.Qira’at Maudhu’(palsu),
yaitu qira’at yang dibuat-buat dan disandarkankepada seorang tanpadasar. Seperti qira’at yang disusun oleh Abu Al-FadhlMuhammad bin Ja’far dan mensbtkannya kepada Imam Abu Hanifah.
6.Qira’at Syabih bi al-mudroj,
yaitu qira’at yang mirip dengan mudroj darimacam-macam hadis. Dia adalah qira’at yang didalamnya ditambah kalimatsebagai tafsir dari ayat tersebut.[8]
D.   Pengaruh Mempelajari Qira’at Terhadap Istinbath (Penetapan) Hukum  dalam Al- Qur'an
Munculnya perbedaan-perbedaan qiraat terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan suatu hukum.[9]
1.      Surat al Baqoroh ayat 222

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ ف الْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللَّهُ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


Artinya : “Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”

Berkaitan dengan ayat diatas, diantara Imam Qiraat tujuh yaitu Abu Bakar Syu’bah, Hamzah, dan Kisa’I membaca kata “yathhurna” dengan memberi syiddah pada huruf tho dan ha, maka bunyinya menjadi “yuththahhirna”. Berdasarkan perbedaan pendapat qira’at ini, para ulama’ fiqih berbeda pendapat sesuai dengan banyaknya perbedaan Qiraat.Ulama yang membaca “yathhurna” berpendapat bahwa seorang suami tidak berkenan berhubungan d engan istrinya yang sedang haid, kecuali telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara yang membaca “yuththahhirna” menafsirkan bahwa serang suami tidak boleh melakukan hubungan badan kecuali dia sudah bersih.
2.      Surat an Nisa’ ayat 43
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَىٰ حَتَّىٰ تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّىٰ تَغْتَسِلُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. Dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.”
Berkaitan dengan ayat ini, Imam Hamzah dan al Kisa’I memendekkan huruf lam pada kata “lamastum”, sementara yang lain memanjangkannya. Bertolak pada perbedaan qiraat ini, terdapat tiga versi pendapat para ulama mengenai maksud kata itu, yaitu bersetubuh, bersentuh, bersentuh sambil bersetubuh. Berdasarkan perbedaan qiraat itu, para ulama fiqh ada yang berpendapat bahwa persentuhan laki-laki dan perempuan itu membatalkan wudlu. Namun ada juga yang berpendapat bahwa, bersentuhan itu tidak membatalkan wudlu kecuali berhubungan badan
BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Ilmu Qira’at adalah bentuk pengucapan kalimat Al Qur’an yang di dalamnya terdapat perbedaan-perbedan dialektis yang bersumber dari Rasulullah saw. Ilmu qira'at lahir bukan karena tanpa sebab melainkan digunakan untuk memperindah bacaan, agar muslimin tidak bosan untuk membacanya. Sedangkan fungsi qira'at yang lain selain memperindah bacaan al-Qur'an dan melengkapi ilmu tajwid yang merupakan pedoman dalam membaca al-Qur'an.
 Ada tiga macam Qira'at yang lahir oleh keahlian-keahlian muslim, yaitu: Qira'at Sab'ah, Qira'at Asyarah, dan Qira'at Arba'at Asyrah yang masing-masing didalamnya terdapat tokoh-tokoh yang mengembangkan Qira'at. Adapun dalam bidang yang lain, Qira'at mempengaruhi penetapan suatu hukum yang bersumber pada al-Qur'an yang disebabkan oleh perbedaan cara pembacaan al-Qur'an sehingga menimbulkan perbedaan makna.
B.   Saran
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Sya'ban Muhammad. 1993. Mengenal Qira'at Al-Qur'an .Semarang: Toha Putra Group.
Hermawan, Acep.2011. 'Ulumul Qur'an: Ilmu untuk memahami wahyu. Bandung:PT. Remaja Rosdakarya.
Hamdani. 2015. Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an.Semarang: CV Karya Abadi.
Anwar, Rusydie .2015. Pengantar Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadist Teori dan Metodelogi .Yogyakarta : Diva Pres.




[1] Sya'ban Muhammad Ismail, Mengenal Qira'at Al-Qur'an,(Semarang: Toha Putra Group,1993), hal-24
[2] Acep Hermawan, 'Ulumul Qur'an: Ilmu untuk memahami wahyu, (Bandung:PT. Remaja Rosdakarya, 2011), hal-133
[3] Sya'ban Muhammad Ismail, Mengenal Qira'at Al-Qur'an,(Semarang: Toha Putra Group,1993), hal-31
[4] Hamdani, Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an,(Semarang: CV Karya Abadi, 2015) hal-30
[5] Hamdani, Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, (Semarang: CV Karya Abadi, 2015) hal-33
[6] Hamdani, Pengantar Studi Ilmu al-Qur'an, (Semarang: CV Karya Abadi, 2015) hal-3
[7] Rusydie Anwar , Pengantar Ulumul Qur'an dan Ulumul Hadist Teori dan Metodelogi , (Yogyakarta : Diva Pres ,2015 ) hal-132
[8] https://www.scribd.com/doc/22264577/Ilmu-Qira-at-Al-qur-An diakses 19 dsember 2017 pukul 21:45 WIB

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.