SISTEM POLITIK DAN KETATANEGARAAN DINASTI FATIMIYAH DAN DINASTI TURKI UTSMANIAH
- Dinasti Fatimiyah
1. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyah
Dinasti fatimiyah berdiri pada tahun 297 H/909 M yang berpusat di Tunisia. Nama Daulah Fatimiyah dinisbatkan kepada Fatimah Az-Zahra (Putri Nabi Muhammad SAW), sekaligus istri Ali bin Abi Thalib.Daulah Fatimiyah berdiri setelah Said ibn Husein berhasil mengusir Zaidatullah, penguasa terakhir Aghlabiyah, negeri Islam Sunni di wilayah Afrika. Daulah Fatimiyah beraliran Syi’ah Isma’iliyah didirikan oleh Abu Abdullah Al-Husein yang kemudian mengangkat Said ibn Husein sebagai pemimpin pertama dengan gelar Ubaidillah Al-Mahdi[1] di Afrika Utara dengan pusat pemerintahannya berkedudukan di al-Qairawan, tetapi dengan alasan keamanan pemerintahan dipindahkan ke mesir setelah menaklukan Dinasti Ikhsyidiyah dan kemudian mendirikan ibukota baru di Qahirah. Selama berkuasa kurang lebih 262 tahun wilayah kekuasaan Daulah Fatimiyah mencakup Tunisia, Afrika Utara, Mesir, dan Suriah. Daulah Fatimiyah merupakan komunitas ahli bait (Keturunan Keluarga Nabi SAW) yang didirikan sebagai tandingan terhadap Dinasti Abbasiyah sebagai penguasa tertinggi saat itu. Oleh karena itu pemerintahan Dinasti Fatimiyah sangat kental dengan paham Syi’ah.
Walaupun berambisi untuk mengalahkan kekuasaan Daulah Abbasiyah, namun Fathimiyah tidak menyerang Baghdad, mereka malah terus meningkatkan propaganda dan berusaha untuk menduduki Mesir. Gerakan ini dipimpin oleh seorang orator handal Ismailiyah bernama Abu Abdullah, yang dikenal dengan sebutan al-Syi’i.[2]Propaganda mereka meliputi: akan memperbaiki kehidupan ekonomi dan sosial kemasyarakatan, munculnya al-Madi yang akan membebaskan rakyat dari penindasan dan terror, menyatakan bahwa mereka akan lebih dekat kepada Nabi dari pada Dinasti Ummayyah dan Abbasiyah.
Ketika itu Dinasti Fathimiyah dipimpin oleh Khalifah al-Mu’iz, Mesir sedang berada dalam kondisi kacau dan lemah ketika Jauhar panglima pasukan Fathimiyah sedang menghadapi armada Bizantyum di laut tengah.Setelah Mesir dapat dikuasai, maka fokus politik Dinasti Fathimiyah selanjut adalah mendirikan ibu kota baru yang terletak di Fusfat bagian Utara, yang mereka sebuta dengan al-Qahirah, yang berarti sang penakluk. Sejak itu penampilan Fusfat semakin cemerlang dan mampu menjadi pesaing Kota Baghdad sebagai pusat peradaban maupun pemerintahan di Timur Tengah.[3]
Khalifah-khalifah yang memimpin Dinasti Fathimiyah ada 14 orang yang itu:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaidillah) al-Mahdi billah (910-934). Pendiri.
2. Abu Muhammad al-Qa’im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934-946)
3. Abh Tahir Ismail al-Mansur bi-llah (946-953)
4. Abu Tamim Ma’add al-Mu’izz li-Din Allah (953-975) Mesir ditaklukkan semasa pemerintahannya.
5. Abu Mansur Nizar al-’Aziz bi-llah (975-996)
6. Abu Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amr Allah (996-1021)
7. Abu Hasan Ali al-Zahir li-I’zaz Din Allah (1021-1036)
8. Abu Tamim Ma’add al-Mustansir bi-llah (1036-1094)
9. Al-Musta’li bi-llah (1094-1101) pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. Al-Amir bi-Ahkam Allah (1101-1130) Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid al-Hafiz (1130-1149)
12. Al-Zafir (1149-1154)
13. Al-Faiz (1154-1160)
14. Al-Adid (1160-1171)[4]
2. Sistem Politik Pemerintahan
a. Bentuk Pemerintahan
Dari metode pergantian khalifah, dapat dikatakan bahwa bentuk pemerintahan pada masa dinasti Fathimiyah adalah berbentuk monarki atau sistem kerajaan, yaitu sistem pergantian kepala negara atau pemerintahan secara turun menurun.[5]
1. Fase Konsolidasi (969-1021 M)
Pada fase ini sempat terjadi perang saudara antara Turki dan Barbar, yang keduanya merupakan kelompok yang turut mendirikan Dinasti Fathimiyyah. Barbar memberikan dukungan sepenuhnya kepada Daulah Fathimiyyah karena awalnya Barbar-lah yang mengusai anggota pemerintahan. Banyak diantara bangsa Barbar yang diangkat menjadi pemerintahan.Sehingga muncullah dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar, sejak saat itulah Barbar kehilangan kedudukan dalam pemerintahan. Pada fase inilah Dinasti Fatimiyah mencapai puncak kejayaannya, yaitu pada masa pemerintahan KhalifahAl–Mu’iz (953-975 M).
Keberhasilan yang telah dicapai Al–Manshur dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al Mu’iz. Ia telah membuat pencerahan pada Dinasti Fathimiyyah, dengan melaksanakan kebijaksanaan besar, yaitu :
a. Pembaharuan dalam bidang administrasi dengan mengangkat seorang wazir (menteri) untuk melaksanakan tugas-tugas kenegaraan.
b. Pembangunan ekonomi, dengan memberi gaji khusus pada tentara, personalia istana, dan pejabat pemerintahan lainnya.
c. Toleransi beragama (juga aliran) dengan mengadakan empat lembaga, peradilan di Mesir, dua untuk madhab syi’ah dan untuk madhab sunni .
Pada masa ini Mesir berhasil dikuasai dan dibangunlah ibukota baru di Kairo. Kairo dibangun dengan sejumlah istana kebesaran dan masjid-masjid agung yang merupakan sebuah kota kerajaan yang dirancang sebagai wujud bagi kebesaran kerajaan. Masjid itu adalah masjid Al Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pengembangan ilmu pengetahuan dan selanjutnya masjid ini menjadi sebuah akademik dan pada kurun waktu itu Al Azhar menjadi Universitas yang sangat terkenal dikalangan akademik.
2. Fase Parlementer
Setelah melalui fase konsolidasi, selanjutnya Dinasti Fathimiyyah memasuki fase parlementer. Suatu fase dimana banyak sekali muncul permasalahan–permasalahan yang rumit sebagai suatu kelanjutan dari kekuasaan/kejayaan yang dicapai pada fase konsolidasi. Masa ini disebut juga dengan “Ahdu Mufuzil Awzara” atau masa pengaruh menteri-menteri mulai dari Az Zahir, sampai dengan Al ‘Adhid.
Pada fase ini memperlihatkan kemunduran tatanan politik, yakni periode peperangan antar fraksi-fraksi militer dan pembagian negeri ini menjadi sejumlah iqta’ yang dikuasai oleh pejabat-pejabat-pejabat militer yang berpengaruh. Sebuah peperangan telah terjadi dalam fase ini yakni perang Salib. Perang yang terjadi di awal kekuasaan al-Munthasir ini diawali dengan ekspansi yang dilakukan Fathimiyyah dari Mesir sampai ke Palestina dan Syiria. (Zaenal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1979), hal. 109.)
b. Distribusi Kekuasaan/Wewenang
Distribusi kekuasaan dimasa dinasti Fatimiyah hanya dibagi kedalam dua bagian yaitu eksekutif dan Yudikatif.
1. Lembaga eksekutif adalah lembaga yang mempunyai kewengan pelaksana undang-undang seperti pemimpin negara/pemerintah beserta jajarannya sampai pejabat-pejabat yang ada dibawah. Lembaga eksekutif meliputi khalifah, menteri dan gubernur.
2. Lembaga Yudikatif, lembaga yang menngani peradilan dan kehakiman. Lembaga-lembaga Yudikatif pada masa Dinasti Fatimiyah seperti pengadilan umum(qada), pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta). Semua institusi ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah.
Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara.
Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar.Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim.
c. Kedudukan dan Fungsi Pimpinan Negara
Pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah, kedudukan Khalifah sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerinthan. Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah menunjuk seorang menteri untuk membantu menjalan pemerintahan. Namun demikian, ada dua fase mengenai peran menteri dalam pemerintahan Dinasti Fathimiyah, yaitu fase konsolidasi yaitu dimana khalifah memiliki kekuasaan penuh (absolut) dalam mengambil kebijakan dalam rangka menjalankan pemerintahan. Fase kedua yaitu fase parlementer yaitu suatu fase dimana peran menteri begitu dominan dalam mengambil kebijakan. Pada fase ini, suksesi kepemimpinan pun sangat ditentukan oleh seorang menteri.
d. Struktur Negara
Struktur negara yang ada pada masa Dinasti Fathimiyah terdiri dari pemerintahan pusat yang dipimpin oleh Khalifah dan jajarannya dan pemerintah daerah yang dipimpin oleh seorang gubernur. Pemerintahan pusat berkantor di Cairo sedangkan pemerintahan daerah diantaranya meliputi Siria, Turki, Palestina, Afrika Utara.
2. Sosial Dinasti Fatimiyah
Sumbangan dinasti Fatimiyah terhadap peradaban Islam sangat besar, baik dalam bidang ekonomi, kebudayaan, politik maupun dalam bidang ilmu pengetahuan, kemajuan yang terlihat[6],antara lain :
a. Bidang politik
Karena berada di bawah kekuasaan Dinasti Abbasiyah, maka penataan administrasi pemerintahan mengikuti gaya pemerintahan Abbasiyah di Baghdad yaitu kekhalifahan jatuh ke tangan anak khalifah (monarki). Khalifah juga dibantu oleh wazir atau menteri. Meskipun sangat kental dengan nuansa Syi’ah, orang-orang Sunni juga diberi jabatan sekedar membantu pemerintahan. Sedangkan jabatan tertinggi umumnya diberikan kepada orang-orang Syi’ah.
Kebijakan-kebijakan yang bersifat politis yang dikeluarkan oleh khalifah, di antaranya:
§ Pemindahan pusat pemerintahan dari Qairawan (Tunisia) ke Kairo (Mesir) adalah merupakan langkah strategis. Mesir akan dijadikan sebagai pusat koordinasi dengan berbagai Negara yang tunduk padanya, karena lebih dekat dengan dunia Islam bagian Timur, sedangkan Qairawan jauh di sebelah utara Benua Afrika
§ Perluasan wilayah. Pada masa khalifah al-Azis telah menguasai daerah yang meliputi negeri Arab sebelah timur sampai Laut Atlantik sebelah barat dan Asia kecil sebelah utara sampai Naubah sebelah selatan.
§ Pembentukan Wazir Tanfiz yang bertanggung jawab mengenai pembagian kekuasaan pusat dan daerah.
b. Dibidang kebudayaan
Dinasti ini juga mencapai kemajuan pesat, terutama setelah didirikannya Masjid al-Azhar yang sekarang dikenal dengan Jami’at al-Azhar (universitas al-Azhar), yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Bahkan selanjutnya Masjid al-Azhar ini telah dimanfaatkan dengan baik oleh kelompok Syiah maupun Sunni.
c. Di Bidang Keilmuan dan Kesusastraan.
Ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub Ibnu Killis yang berhasil membangun akademi keilmuan dan melahirkan ahli fisika bernama al-Tamimi dan juga seorang ahli sejarah yaitu Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah al-AAzis yang berhasil membangun masjid al-Azhar. Kemajuan yang paling fundamental di bidang keilmuan adalah didirikannya lembaga keilmuan yang bernama Darul Hikam, serta pengembangan ilmu astronomi oleh ahli ibnu Yunus dan Ali al-Hasan dan Ibnu Hayam karyanya tentang tematik, astronomi, filsafat fan kedokteran telah dihasilkan pada masa al-Mansur terdapat perpustakaan yang di dalamnya berisi 200.000 buku.
d. Di Bidang Ekonomi dan Sosial,
Mesir mengalami kemakmuran ekonomi yang mengungguli daerah-daerah lainnya dan hubungan dagang dengan dunia non muslim dibina dengan baik, serta di masa ini pula banyak dihasilkan produk islam yang terbaik.Masjid dan perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru, pemandian umum yang dibangun dengan baik, pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia.
B. Dinasti Turki Ustmani
1. Asal Mula Kerajaan Turki Utsmani
Kerajaan Turki Utsmani berdiri tahun 1281 di Asia Kecil. Pendirinya adalah Ustman bin Erthogril. Kata Ustmani diambil dari nama kakek mereka yang pertama dan pendiri kerajaan ini, yaitu Ustman bin Ertoghil bin Sulaiman Syah dari suku Qayigh, salah satu cabang keturunan Oghus Turki.
Sulaiman Syah dengan 1000 pengikutnya mengembara ke Anatolia dan singgah di Azerbaijan, namun sebelum sampai ke tujuan, ia meninggal dunia. Kedudukannya digantikan oleh puteranya yaitu Erthogril untuk melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuan semula.
Pada tahun 1288 Erthogril wafat dan sultan menunjuk anak Erthogril yang bernama Ustman sebagai penganti. Dari nama Ustman ini kemudian muncul nama Dinasti Ustmani.
Pada tahun 1300, bangsa monggol menyerang kerajaan Saljuk dan Sultan Alauddin II terbunuh. Kemudian Ustman menyatakan dirinya sebagai raja yang pantas dan berkuasa atas daerah yang didudukinya. Sejak saat itu kerajaan Turki Ustman berdiri dan Utsman ibn Erthogril sebagai raja yang pertama dinasti ini berkuasa kurang lebih selama enam abad.[7]
2. Sistem Pemerintahan Turki Utsmani
Kerajaan Turki Utsmani merupakan kerajaan yang menganut sistem pemerintahan yang Monarki bergelar sultan dan khalifah sekaligus sultan menguasai kekuasaan duniawi dan khalifah di bidang keagamaan.[8]Kebijakan yang diambil negara didiskusikn dan dibicarakan dalam lembaga Divan-I Humayun yaitu lembaga pusat organisasi pemerintahan masalah keagamaan. Dalam sistem pemerintahan didaerah Sultan dibantu kadi dan bey.[9]
Sebagai berikut adalah struktur pemerintahan Negara kekhilafahan Turki Utsmani :
a. Khalifah
b. Para mu’awin
c. Wuzarat at-Tanfidz
d. Gubernur
e. Amirul Jihad
f. Departemen Keamanan dalam Negri
g. Departemen Luar Negri
h. Departemen Industri
i. Peradilan
j. Departemen Negara untuk Pelayanan Masyarakat
k. Bitul Mal
l. Departemen Penerangan
m. Majelis umat[10]
3. Akhir dari Turki Utsmani
Tokoh utama gerakan nasionalis adalah Mustafa Kemal Attaruk. Mustafa berusaha keras mewujudkan cita-citanya yaitu mewujudkan Negara Turki yang modern.
Pada 1920, dia membentuk dewan nasional di Angkara. Kemudian dia terpilih menjadi perwakilan rakyat mengikuti perundingan. Dia mencetuskan beberapa langkah membuat turki modern. Ia menghapus ke sultanan sementara kekhalifahan masih terjaga. Ia juga memproklamasikan Turki menjadi Republik.[11]
[1]Khoiriyah, Reorientasi Sejarah Islam dari Arab Sebelum Islam hingga Dinasti-Dinasti Islam, (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012), cet. Pertama, hal. 171
[2] Maidir Harun dan Firdaus, Sejarah Peradaban Islam, (Padang: IAIN Imam Bonjol Press, 2002), hal. 80-81
[3] Abu Su’ud, Islamogy, Sejarah, Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Ummat Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2003), hal. 19. Lihat juga Cyrel Glase, Ensiklopedia Islam, (Jakarata: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), hal. 97.)
[7] Tohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004) hlm 185
Tidak ada komentar: