Ads Top

Masa Disintegrasi dan Lahirnya Dinasti-Dinasti


A.      Disintegrasi
Semenjak pemerintahan Harun Ar-Rasyid (786-809M/170-194H) dikatakan pada saat ituterjadi masa keemasan Bani Abbasiyah tetapi pada waktu itu terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya pada saat penurunan takhta Harun Ar-Rasyid telah memerintahkan tahta warisan kepada putra tertuanya yaitu al-Amin (809-812M/194-198H) dan kepada putranya yang lebih muda yaitu Al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Khurasan.
Setelah wafatnya Harun Ar-Rasyid, Al-Amin berusaha menghianati adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil dimana al-Amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad sementara al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka mendapatkan dukungan dari pasukan Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya dan mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Akan tetapi peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan provinsi lainnya.
Pada masa kekhalifahan Al-Ma’mun juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya Dinasti Thahiriyah yang didirikan oleh Thohir. Dia adalah mantan Gubernur Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah yang diangkat karena membantu kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit dibawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa Gubernur Besar.[1]
B.       Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi pada akhir masa Bani Umayyah. Akan tetapi, berbicara tentang politik Islam dalam lintasan sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan Bani Umayyah dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataanya, banyak daerah yang tidak dikuasai khalifah.[2]Sebenarnya, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur provinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.
Ada kemungkinan bahwa para khalifah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu, dengan pembayaran upeti. Alasannya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan daripada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas.[3]Provinsi-provinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun, pada saat wibawa khalifah sudah memudar, mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggerogoti sang  khalifah, tetapi beberapa di antaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri. Selain itu, datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuatan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mempekerjakan orang-orang professional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan pengangkatan anggota militer Turki ini. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata hal tersebut menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi, pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan Syu’ubiyah (kebangsaan/anti Arab).
Para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga, meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Faktor-faktor penting yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas pada periode ini, sehingga banyak daerah memerdekakan diri, adalah:
1.    Luasnya wilayah kekuasaan daulat Abbasiyah sementara komunikasi pusat dengan daerahsulit dilakukan. Bersamaan dengan itu, tingkat saling percaya dikalangan para penguasa dan pelaksana pemerintah sangat rendah.
2.    Dengan profesionalisasi angkatan bersenjata, ketergantungan khalifah terhadap mereka sangat tinggi.
3.    Keuangan Negara sangat sulit karena biaya yang dikeluarkan untuk tentara bayaran sangat besar. Pada saat kekuatan militer menurun, khalifah tidak sanggup memaksa pengiriman pajak ke Baghdad.[4]
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah diantaranya adalah :
a.     Yang berbangsa Persia
1.    Thahiriyyah di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
2.    Shafariyah di Fars (254-290 H/868-901 M)
3.    Shamaniyah di Transoxania (261-389 H/873-998 M)
4.    Sajiyyah di Azerbaijan (266 – 318 H/878-930 M)
5.    Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad (351-585 H/962-1189 M)
b.    Yang Berbangsa Turki
1.    Thuliniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
2.    Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
3.    Ghaznawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
4.    Dinasti Saljuk dan cabang-cabangnya:
1)   Saljuk Besar atau Saljuk Agung didirikan oleh Rukn Al-Din Abu Thalib Tuqhlrul Bek ibn Mikail ibn Saljuk ibn Tuqaq. Saljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-522H/1037-1127M)
2)   Saljuk Kirman di Kirman (433-583H/1040-1187M)
3)   Saljuk Syiriah atau Syam di Syiriah (487-511H/1094-1117M)
4)   Saljuk Irak di Irak dan Kurdistan (511-590H/1117-1194M)
5)   Saljuk Ruum atau Asia Kecil (470-700H/1077-1299M)
c.     Yang berbangsa Kurdi
1.    Al-Barzuqani (348-406H/959-1015M)
2.    Abu Ali (380-489H/990-1095M)
3.    Ayubiyah (564-648H/1167-1250M)
d.    Yang berbangsa Arab
1.    Idrisiyyah di Maroko (172-375H/788-985M)
2.    Aghlabiyyah di Tunisia (184-289H/800-900M)
3.    Dulafiyah di Kurdistan (210-285H/825-898M)
4.    Alawiyah di Tabaristan (250-316H/864-928M)
5.    Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil (317-394H/929-1002M)
6.    Mazyadiyyah di Hillah (402-545H/1011-1150M)
7.    Ukailiyyah di Maushil (386-489H/996-1095M)
8.    Mirdasiyyah di Aleppo (414-472H/1023-1079M)
e.     Yang mengaku dirinya sebagai khilafah
1.    Umawiyah di Spanyol.
2.    Fathimiyah di Mesir.[5]
C.      Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya, tetapi apa yang terjadi pada pemerintahan Abbasiyah berbeda. Nabi Muhammad SAW tidak menentukan bagaimana cara pergantian pimpinan setelah ditinggalkannya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yang berkembang di kalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, proses suksesi kepemimpinan politik dalam sejarah Islam berbeda-beda dari satu masa ke masa yang lain. Setelah Nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat antara kaum Muhajirin dan Anshar di balai kota Bani Sa'idah di Madinah. Masing-masing golongan berpendapat bahwa kepemimpinan harus berada di pihak mereka, atau setidak-tidaknya masing-masing golongan mempunyai pemimpin sendiri. Akan tetapi, karena pemahaman keagamaan yang baik dan musyawarah serta ukhuwah yang tinggi perbedaan itu dapat diselesaikan dan Abu Bakar terpilih menjadi Khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Pertama-tama Ali menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair, dan Aisyah. Alasan pemberontakan itu adalah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela terhadap darah Usman yang ditumpahkan secara zalim. Menurut Ahmad Syalabi, Abdullah ibn Zubairlah yang menyebabkan terjadinya pemberontakan yang banyak membawa korban tersebut. Dia berambisi besar untuk menduduki kursi khilafah. Untuk itu, ia menghasut bibi dan ibu asuhnya, Aisyah, agar memberontak terhadap Ali, dengan harapan Ali gugur dan ia dapat menggantikan posisi Ali.
Dengan tujuan mendapatkan kedudukan khilafah, Muawiyah, gubemur Damaskus, memberontak yang menimbulkan korban. Muawiyah mencapai maksudnya, sementara Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri. Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkannya dari kursi khilafah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal yang sama juga terjadi pada masa pemerintahan Bani Umayyah di Damaskus.
Pemberontakan-pemberontakan sering terjadi, diantaranya pemberontakan Husein ibn Ali, Syi'ah yang dipimpin oleh al-Mukhtar, Abdullah ibn Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau Bani Abbas.
Pada masa pemerintahan Bani Abbas, perebutan kekuasaan terjadi, di awal berdirinya. Pada masa berikutnya meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaannya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas. Hal ini terjadi karena khalifah sudah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka.
Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan dan mejadikan khalifah sebagai boneka. Bahkan mereka yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka. Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334-447 H/l055 M), Daulat Abbasiyah berada di bawah kekuasaan Bani Buwaih.
Kehadiran Bani Buwaih berawal dari tiga orang putera Abu Syuja' Buwaih, pencari ikan yang tinggal di daerah Dailam, yaitu Ali, Hasan dan Ahmad. Untuk keluar dari tekanan kemiskinan, tiga bersaudara ini memasuki dinas militer yang ketika itu dipandang banyak mendatangkan rezeki. Pada mulanya mereka bergabung dengan pasukan Makan ibn Kali, salah seorang panglima perang daerah Dailam. Setelah pamor Makan ibn Kali memudar, mereka kemudian bergabung dengan panglima Mardawij ibn Zayyar al-Dailamy. Karena prestasi mereka, Mardawij mengangkat Ali menjadi gubernur al-Karaj, dan dua saudaranya diberi kedudukan penting lainnya.
Dari al-Karaj itulah ekspansi kekuasaan Bani Buwaih bermula. Pertama-tama Ali berhasil menaklukkan daerah-daerah di Persia dan menjadikan Syiraz sebagai pusat pemerintahan. Ketika Mardawij meninggal, Bani Buwaih yang bermarkas di Syiraz itu berhasil menaklukkan beberapa daerah di Persia seperti Ray, Isfahan, dan daerah-daerah Jabal. Ali berusaha mendapat legalisasi dari khalifah Abbasiyah, al-Radhi Billah dan mengirimkan sejumlah uang untuk perbendaharaan negara. Ia berhasil mendapatkan legalitas itu. Kemudian ia melakukan ekspansi ke Irak, Ahwaz, dan Wasith. Dari sini tentara Buwaih menuju Baghdad untuk merebut kekuasaan di pusat pemerintahan.
Ketika Baghdad sedang dilanda kekisruhan politik, akibat perebutan jabatan Amir al-Umara antara wazir dan pemimpin militer, para pemimpin militer meminta bantuan kepada Ahmad ibn Buwaih yang berkedudukan di Ahwaz. Permintaan itu dikabulkan. Ahmad dan pasukannya tiba di Baghdad pada Jumadil-ula 334 H/945 M. Ia disambut baik oleh khalifah dan langsung diangkat menjadi Amirul-Umara, penguasa politik negara, dengan gelar Mu'izz al-Daulah. Saudaranya, Ali, yang memerintah di bagian selatan Persia dengan pusatnya di Syiraz diberikan gelar Imad al-Daulah, dan Hasan yang memerintah di bagian utara, Isfahan dan Ray, dianugerahi gelar Rukn al-Daulah.
Sejak itu, sebagaimana terhadap para pemimpin militer Turki sebelumnya, para khalifah tunduk kepada Bani Buwaih dan benar-benar tinggal namanya saja. Pelaksanaan pemerintahan sepenuhnya berada di tangan amir-amir Bani Buwaih. Keadaan khalifah lebih buruk daripada masa sebelumnya, terutama karena Bani Buwaih adalah penganut aliran Syi'ah, sementara Bani Abbas adalah Sunni. Selama masa kekuasaan Bani Buwaih sering terjadi kerusuhan antara kelompok Ahlussunnah dan Syi'ah, pemberontakan tentara dan sebagainya.[6]
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Buwaih memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.[7]Meski demikian, kendali politik yang sebenarnya masih berada di Syiraz, tempat Ali ibn Buwaih (saudara tertua) bertahta.
Dengan kekuatan militer Bani Buwaih, beberapa dinasti kecil yang sebelumnya memerdekakan diri dari Baghdad, seperti Bani Hamdan di wilayah Syria dan Irak, Dinasti Samaniyah, dan Ikhsyidiyah, dapat dikendalikan kembali dari Baghdad. Para penguasa Bani Buwaih mencurahkan perhatian secara langsung dan sungguh-sungguh terhadap pengembangan ilmu pengetahuan dan kesusasteraan. Pada masa Bani Buwaih ini banyak bermunculan ilmuwan besar, di antaranya al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (980-1037 M), al-Farghani, Abdurrahman al-Shufi (w. 986 M), Ibn Maskawaih (w. 1030 M), Abu al-'Ala al-Ma'arri (973-1057 M), dan kelompok Ikhwan al-Shafa. Jasa Bani Buwaih juga terlihat dalam pembangunan kanal-kanal, masjid-masjid, beberapa rumah sakit, dan sejumlah bangunan umum lainnya. Kemajuan tersebut diimbangi dengan laju perkembangan ekonomi, pertanian, perdagangan, dan industri, terutama permadani.Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Setelah generasi pertama tiga bersaudara tersebut, kekuasaan menjadi ajang pertikaian diantara anak-anak mereka.
Faktor eksternal yang menyebabkan kehancuran Buwaih diantaranya adalah semakin gencarnya serangan-serangan Bizantium ke dunia Islam, dan semakin banyaknya dinasti-dinasti kecil yang membebaskan diri dari kekuasaan pusat di Baghdad, antara lain dinasti Fathimiyah di Mesir, Ikhsyidiyah di Mesir dan Syria, Hamdan di Aleppo dan lembah Furat, Ghaznawi di Ghazna dekat Kabul, dan dinasti Seljuk yang berhasil merebut kekuasaan dari tangan Bani Buwaih.
Jatuhnya kekuasaan Bani Buwaih ke tangan Seljuk bermula dari perebutan kekuasaan di dalam negeri. Ketika al-Malik al-Rahim memegang jabatan Amir al-Umara, kekuasaan itu dirampas oleh panglimanya Arselan al-Basasiri yang berbuat sewenang-wenang terhadap Al-Malik al-Rahim dan Khalifah al-Qaimdari Bani Abbas, bahkan dia mengundang khalifah Fathimiyah, al-Mustanshir, untuk menguasai Baghdad. Hal ini mendorong khalifah meminta bantuan kepada Tughril Bek dari dinasti Seljuk yang berpangkalan di negeri Jabal.
Pada tanggal 18 Desember 1055 M/447 H pimpinan Seljuk itu memasuki Baghdad. Al-Malik al-Rahim, Amir al-Umara Bani Buwaih yang terakhir, dipenjarakan. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Buwaih dan bermulalah kekuasaan Dinasti Seljuk. Pergantian kekuasaan ini juga menandakan awal periode keempat khilafah Abbasiyah.
Dinasti Seljuk berasal dari beberapa kabilah kecil rumpun suku Ghuz di wilayah Turkistan. Pada abad kedua, ketiga, dan keempat hijriyah, mereka pergi ke arah barat menuju Transoxiana dan Khurasan. Mereka dipersatukan oleh Seljuk ibn Tuqaq sehingga disebut orang-orang Seljuk. Pada mulanya Seljuk ibn Tuqaq mengabdi kepada Bequ, raja daerah Turkoman yang meliputi wilayah sekitar laut Arab dan laut Kaspia. Seljuk diangkat sebagai pemimpin tentara. Pengaruh Seljuk sangat besar sehingga Raja bermaksud menyingkirkan Seljuk, tetapi Seljuk mengetahuinya. Ia tidak mengambil sikap melawan atau memberontak, tetapi bersama pengikutnya ia bermigrasi ke daerah Land, atau Wama Wara'a al-Nahar, sebuah daerah muslim di wilayah Transoxiana (antara sungai Ummu Driya dan Syrdarya atau Sihun).
Mereka mendiami daerah ini atas izin penguasa dinasti Samaniyah yang menguasai daerah tersebut dan masuk Islam dengan mazhab Sunni. Ketika dinasti Samaniyah dikalahkan oleh dinasti Ghaznawiyah, Seljuk menyatakan memerdekakan diri dan menguasai wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh dinasti Samaniyah. Setelah Seljuk meninggal, kepemimpinan dilanjutkan oleh Israil. Namun, Israil dan kemudian penggantinya Mikail, ditangkap oleh penguasa Ghaznawiyah. Kepemimpinan selanjutnya dipegang oleh Thugrul Bek. Pemimpin Seljuk terakhir ini berhasil mengalahkan Mas'ud al-Ghaznawi, penguasa dinasti Ghaznawiyah, pada tahun 429 H/1036 M, dan memaksanya meninggalkan daerah Khurasan.
Setelah keberhasilan tersebut, Thugrul memproklamasikan berdirinya dinasti Seljuk. Pada tahun 432 H/1040 M dinasti ini mendapat pengakuan dari khalifah Abbasiyah di Baghdad. Di saat kepemimpinan Thugrul Bek inilah, dinasti Seljuk memasuki Baghdad menggantikan posisi Bani Buwaih. Sebelumnya, Thugrul berhasil merebut daerah-daerah Marwadan Naisabur dari kekuasaan Ghaznawiyah, Balkh, Urjan, Tabaristan, Khawarizm, Ray, dan Isfahan.
Thugrul Bek memilih Naisabur dan kemudian Ray sebagai pusat pemerintahan. Dinasti-dinasti kecil yang sebelumnya memisahkan diri, setelah ditaklukkan dinasti Seljuk ini, kembali mengakui kedudukan Baghdad, bahkan mereka terus menjaga keutuhan dan keamanan Abbasiyah untuk membendung faham Syi'ah dan mengembangkan mazhab Sunni yang dianut mereka.
Sepeninggal Thugrul Bek (455 H/1063 M), dinasti Seljuk berturut-turut diperintah oleh Alp Arselan (455-465 H/1063-1072), Maliksyah (465-485 H/1072-1092), Mahmud (485-487 H/1092-1094 M), Barkiyaruq (487 -498 H/1 094-1103), Maliksyah II (498 H/ 1103 M), Abu Syuja' Muhammad (498-511 H/11 03-1117 M), dan Abu Haris Sanjar(511-522H/1117-1128 M).
Pemerintahan Seljuk ini dikena1 dengan nama al-Salajikah al-Kubra (Seljuk Besar atau Seljuk Agung). Pada masa Alp Arselan perluasan daerah dilanjutkan ke arah barat sampai pusat kebudayaan Romawi di Asia Kecil, yaitu Bizantium. Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi ini adalah apa yang dikenal dengan peristiwa Manzikart. Tentara Alp Arselan berhasil mengalahkan tentara Romawi yang besar yang terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis, dan Armenia. Dengan dikuasainya Manzikart tahun 1071 M itu, terbukalah peluang gerakan penturkian (turkification) di Asia Kecil. Gerakan ini dimulai dengan mengangkat Sulaiman ibn Qutlumish, keponakan Alp Arselan, sebagai gubernur di daerah ini. Pada tahun 1077 M (470 H), didirikanlah kesultanan Seljuk Rum dengan ibu kotanya Iconim. Sementara itu putera Arselan, Tutush, berhasil mendirikan dinasti Seljuk di Syria pada tahun 1094 M/487 H.[8]
Pada masa Maliksyah wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk ini sangat luas, membentang dari Kashgor, sebuah daerah di ujung daerah Turki, sampai ke Yerussalem. Wilayah yang luas itu dibagi menjadi lima bagian, yaitu:
1.    Seljuk Besar yang menguasai Khurasan, Ray, Jabal, Irak, Persia, dan Ahwaz. Ia merupakan induk dari yang lain. Jumlah Syekh yang memerintah seluruhnya delapan orang.
2.    Seljuk Kirman berada di bawah kekuasaan keluarga Qawurt Bek ibn Dawud ibn Mikail ibn Seljuk. Jumlah syekh yang memerintah dua belas orang.
3.    Seljuk Irak dan Kurdistan, pemimpin pertamanya adalah Mughirs al-Din Mahmud. Seljuk ini secara berturut-turut diperintah oleh sembilan syekh.
4.    Seljuk Syria, diperintah oleh keluarga Tutush ibn Alp Arselan ibn Daud ibn Mikail ibn Seljuk, jumlah syekh yang memerintah lima orang.
5.    Seljuk Rum, diperintah oleh keluarga Qutlumish ibn Israil ibn Seljuk dengan jumlah syekh yang memerintah seluruhnya 17 orang.
Disamping membagi wilayah menjadi lima, dipimpin oleh gubernur yang bergelar Syekh atau Malik itu, penguasa Seljuk juga mengembalikan jabatan perdana menteri yang sebelumnya dihapus oleh penguasa Bani Buwaih. Jabatan ini membawahi beberapa departemen.
Pada masa Alp Arselan, ilmu pengetahuan dan agama mulai berkembang dan mengalami kemajuan. Pada zaman Sultan Malik Syah yang dibantu oleh perdana menteri Nizham al-Mulk, perdana menteri ini memprakarsai berdirinya Universitas Nizhamiyah (1065 M) dan Madrasah Hanafiyah di Baghdad. Hampir di setiap kota di Irak dan Khurasan didirikan cabang Nizhamiyah. Menurut Philip K. Hitti, Universitas Nizhamiyah inilah yang menjadi model bagi segala perguruan tinggi di kemudian hari.
Perhatian pemerintah terhadap perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan banyak ilmuwan muslim pada masanya. Diantara mereka adalah al-Zamakhsyari dalam bidang tafsir, bahasa, dan teologi; al-Qusyairy dalam bidang tafsir; Abu Hamid al-Ghazali dalam bidang teologi; dan Farid al-Din al-'Aththar dan Umar Khayam dalam bidang sastra. Dalam pembangunan fisik dinasti Seljuk banyak meninggalkan jasa. Malik Syah terkenal dengan usaha pembangunan masjid, jembatan, irigasi dan jalan raya.
Setelah Sultan Maliksyah dan perdana menteri Nizham al-Mulk wafat Seljuk Besar mulai mengalami masa kemunduran di bidang politik. Perebutan kekuasaan diantara anggota keluarga timbul. Setiap propinsi berusaha melepaskan diri dari pusat. Konflik-konflik dan peperangan antaranggota keluarga melemahkan mereka sendiri. Sementara itu, beberapa dinasti kecil memerdekakan diri, seperti Syahat Khawarizm, Ghuz, dan al-Ghuriyah. Pada sisi yang lain, sedikit demi sedikit kekuasaan politik khalifah juga kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan dinasti Seljuk di Irak berakhir di tangan Khawarizm Syah pada tahun 590 H/l199 M.[9]

D.      Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095, saat Paus Urbanus II berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat Kristen yang hendak berziarah ke sana.
Peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasil mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa ini menimbulkan permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib.
Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah dengan peraturan yang menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci itu, pada tahun 1095 M Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci yang kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode:
1.    Periode Pertama
Pada musim semi tahun 1095 M, 150.000 orang Eropa, sebagian besar bangsa Perancis dan Norman, berangkat menuju Konstantinopel, kemudian ke Palestina. Tentara Salib yang dipimpin oleh Godfrey, Bohemond, dan Raymond ini memperoleh kemenangan besar. Pada tanggal 18 Juni 1097 mereka berhasil menaklukkan Nicea dan tahun 1098 M menguasai Raha (Edessa). Di sini mereka mendirikan kerajaan Latin I dengan Baldawin sebagai raja. Pada tahun yang sama mereka dapat menguasai Antiochea dan mendirikan kerajaan latin II di Timur. Bohemond dilantik menjadi rajanya. Mereka juga berhasil menduduki Bait al-Maqdis (15 Juli 1099 M.) dan mendirikan kerajaan Latin III dengan rajanya, Godfrey. Setelah penaklukan Bait al-Maqdis itu, tentara Salib melanjutkan ekspansinya. Mereka menguasai kota Akka (1104 M.), Tripoli (1109 M.) dan kota Tyre (1124 M.). Di Tripoli mereka mendirikan kerajaan Latin IV, Rajanya adalah Raymond.
2.    Periode Kedua
Pada tahun 1144 M Imaduddin Zanki, penguasa Moshul dan Irak, berhasil menaklukkan kembali Aleppo, Hamimah, dan Edessa. Ia wafat tahun 1146 M dan dilanjutkan oleh Numuddin Zanki. Numuddin berhasil merebut kembali Antiochea pada tahun 1149 M dan pada tahun 1151 M seluruh Edessa dapat direbut kembali.
Kejatuhan Edessa ini menyebabkan orang-orang Kristen mengobarkan Perang Salib kedua. Paus Eugenius III menyampaikan perang suci yang disambut positif oleh raja Perancis Louis VII dan raja Jerman Condrad II. Keduanya memimpin pasukan Salib untuk merebut wilayah Kristen di Syria. Mereka dihambat oleh Numuddin Zanki dan tidak berhasil memasuki Damaskus. Louis VII dan Condrad II melarikan diri ke negerinya. Numuddin wafat tahun 1174 M. Pimpinan perang kemudian dipegang oleh Shalahuddin al-Ayyubi yang berhasil mendirikan dinasti Ayyubiyah di Mesir tahun 1175 M. Hasil peperangan Shalahuddin yang terbesar adalah merebut kembali Yerussalem pada tahun 1187 M. Dengan demikian kerajaan latin di Yerussalem yang berlangsung selama 88 tahun berakhir.
Jatuhnya Yerussalem ke tangan kaum muslimin memebuat tentara salib menyusun rencana balasan. Dipimpin oleh Frederick Barbarossa, raja Jerman, Richard the Lion Hart, raja Inggris, dan Philip Augustus, raja Perancis pasukan ini bergerak pada tahun 1189 M. Walaupun mendapat tantangan berat dari Shalahuddin, mereka berhasil merebut Akka yang kemudian dijadikan ibu kota Kerajaan Latin, tetapi mereka tidak berhasil memasuki Palestina. Pada tanggal 2 Nopember 1192 M, dibuat perjanjian antara tentara salib dengan Shalahuddin yang disebut dengan Shulh al-Ramlah. Dalam perjanjian ini disebutkan bahwa orang Kristen yang berziarah ke Bait al-Maqdis tidak akan diganggu.
3.    Periode Ketiga
Tentara Salib pada periode ini dipimpin oleh raja Jerman, Frederick II. Mereka berusaha merebut Mesir sebelum ke Palestina, dengan harapan dapat bantuan dari orang-orang Kristen Qibthi. Pada tahun 1219 M, mereka berhasil menduduki Dimyat. Raja Mesir dari dinasti Ayyubiyah waktu itu, al-Malik al-Kamil, membuat penjanjian dengan Frederick. Isinya antara lain Frederick bersedia melepaskan Dimyat, sementara al-Malik al-Kamil melepaskan Palestina, Frederick menjamin keamanan kaum muslimin di sana, dan Frederick tidak mengirim bantuan kepada Kristen di Syria. Dalam perkembangan berikutnya, Palestina dapat direbut kembali oleh kaum muslimin tahun 1247 M pada masa pemerintahan al-Malik al-Shalih. Ketika Mesir dikuasai oleh dinasti Malik yang menggantikan posisi dinasti Ayyubiyah, pimpinan perang dipegang oleh Baybars dan Qalawun. Pada masa mereka Akka dapat direbut kembali oleh kaum muslimin pada tahun 1291 M. Perang ini tidak berhenti di Barat, di Spanyol, sampai umat Islam terusir dari sana.
E.       Sebab-Sebab Kemunduran Pemerintahan Bani Abbas
Faktor-faktor yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah menjadi mundur di antaranya adalah sebagai berikut:
1.    Persaingan antar bangsa         
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan tersebut dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya ‘ashabiyah kesukuan. Khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas ‘ashabiyah tradisional.Akan tetapi orang-orang Persia tidak puas dan menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia. Sedangkan bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat.[10]Akibatnya, di samping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu'ubiyah. Para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji dan dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka, mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah. Setelah al-Mutawakkil naik tahta, dominasi tentara Turki tidak terbendung. Kekuasaan berada ditangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat.
2.    Kemerosotan Ekonomi
Periode pertama pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta.[11] Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj semacam pajak hasil bumi. Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar yang disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat, diringankannya pajak, dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik Dinasti Abbasiyah kedua.
3.    Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Kekecewaan orang Persia mendorong mereka mempropagandakan ajaran Manuisme, Zoroasterisme dan Mazdakisme. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah dengan tujuan memberantas bid'ah.[12]Semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak seperti gerakan al-Afsyin dan Qaramithah.
Ketika gerakan ini tersudut, pendukungnya banyak berlindung di balik ajaran Syi'ah sehingga banyak aliran Syi'ah yang dipandang ghulat (ekstrim) dan dianggap menyimpang oleh penganut Syi'ah sendiri. Syi'ah pernah berkuasa di dalam Khilafah Abbasiyah melalui Bani Buwaih lebih dari seratus tahun. Dinasti Idrisiyah di Maroko dan Khilafah Fathimiyah di Mesir adalah dua dinasti Syi'ah yang memerdekakan diri dari Baghdad yang Sunni.
Konflik yang dilatarbelakangi agama tidak terbatas pada konflik antara muslim dan zindiq atau Ahlussunnah dengan Syi'ah saja, tetapi juga antar aliran dalam Islam. Mu'tazilah yang cenderung rasional dituduh sebagai pembuat bid'ah oleh golongan Ahlus Sunnah. Perselisihan antara dua golongan ini dipertajam oleh al-Ma'mun, khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah (813-833 M.) dengan menjadikan Mu'tazilah sebagai madzhab resmi negara dan melakukan mihnah. Pada masa al-Mutawakkil (847-861) aliran Mu'tazilah dibatalkan sebagai aliran negara dan golongan Ahlus Sunnah kembali naik daun. Aliran Mu'tazilah bangkit kembali pada masa Dinasti Buwaih. Namun pada masa Dinasti Seljuk yang menganut aliran Asy'ariyyah, penyingkiran golongan Mu'tazilah mulai dilakukan secara sistematis. Sedangkan aliran Asy'ariyah didukung penguasa.
4.    Ancaman dari luar
Faktor-faktor eksternal yang menyebabkan Khilafah Abbasiyah lemah dana dan hancur:
a.    Perang Salib yang berlangsung beberapa periode dan menelan banyak korban.
Kedua, serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Panglima tentara Mongol, Hulagu Khan, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Buddha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[13]


[1] Fathah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm. 112.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 63
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 64

[4] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 66-67

[5] Fathah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm.112-113

[6] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 67-70
[7] Philip K Htiti, History of the Arabs, London: Macmillan Press Ltd.,1970, hlm. 471.
[8] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm.72-74

[9] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm.74-76

[10] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm 485.
[11] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm 485.
[12] Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm 470
[13] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 85.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.