Ads Top

Kepemilikan Dalam islam


BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN KEPEMILIKAN
            Kata “kepemilikan” dalam bahasa Indonesia diambil dari kata “milik”,yang merupakan kata serapan dari kata “al-milk” dalam bahasa arab  yang berarti memiliki. Memiliki berarti memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas. Dalam artian, kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu harta (barang atau jasa) yang membolehkannya untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara’, sehingga orang lain tidak diperkenankan mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan.
            Definisi kepemilikan menurut para fuqaha misalnya disampaikan oleh Muhammad Mushthafa alSalaby.Ia mendefinisikan al-Milk sebagai berikut: “Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu benda yang menghalangi orang lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya melakukan tindakan secara langsung terhadap benda itu, selama tidak ada halangan syara’”
            Menurut Abdul Salam Al Baghdadi  kepemilikan adalah  hak khusus manusia terhadap kepemilikan yang diizinkan bagi seseorang untuk memanfaatkan tanpa batas hingga terdapat alasan yang melarangnya”.[1]
            Abdul Karim Zaidan mendefinisikan alMilk sebagai “Pengkhususan (keistimewaan) atas sesuatu benda yang memungkinkan pemiliknya secara pribadi untuk menggunakan atau melakukan suatu tindakan terhadap harta tersebut tanpa ada sesuatu yang mencegah menurut syariat Islam.”            
            Dengan demikian dapat kita fahami bahwa kepemilikan adalah kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang,harta baik riil (nyata) maupun secara hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan tindakan seperti jual beli, hibah, wakaf, dan yang lainya sehingga dengan kekuasaan tersebut pihak lain baik secara individual maupun kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau mempergunakan barang tersebut. Namun juga harus dipahami bahwa kepemilikan  ini tidak berarti memberi hak mutlak penuh kepada pemilik ,melainkan  harus sesuai dengan aturan.Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya sementara,tidak abadi ,tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah SWT.
            Konsep kepemilikan dalam ajaran Islam berangkat dari pandangan bahwasanya manusia kecendrungan dasar (fithrah) manusia ialah  untuk memiliki harta secara individual, tetapi juga membutuhkan pihak lain dalam kehidupan sosialnya.Harta dan kekayaan  telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini,yang mana merupakan pemberian dari Allah SWT kepada manusia untuk dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya guna kesejahteraan seluruh umat manusia, sesuai dengan aturan dan syariat Allah Swt.Penghormatan islam terhadap adanya hak milik tercermin dalam konsep haq al adami,disamping itu perlindunagan keselamatan hak milim pribadi pun diberikan Islam dengan ditentukanya sanksi pidana terhadap orang yang merampasnya ,baik melalui cara pencurian ataupun perampokan.[2]
            Pengaturan terhadap semua jenis kepemilikan dalam Islam bertujuan untuk memberikan perlindungan agar tidak terjadi 2 persolan mendasar yaitu :
1.Penguasaan harta oleh seseorang secara berlebihan dan menjadikannya tidak terbatas.Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al Alaq ayat 6-7 yang menyindir sifat manusia yang suka melampaui batas . “Ketahuilah Sesungguhnya manusia benar benar malampaui batas.Karena dia melihat dirinya sudah cukup.”
2.Munculnya kemiskinan dan efek efek negatifnya ,baik dalam ukuran individu maupun sosial.
B.SEBAB SEBAB KEPEMILIKAN
            Adapun maksud dengan sebab-sebab pemilikan harta disini adalah sebab yang menjadikan seseorang memiliki harta tersebut, yang sebelumnya tidak menjadi hak miliknya. Sebab pemilikan harta itu telah dibatasi dengan batasan yang telah dijelaskan oleh syara’. Menurut syari’at Islam setidaknya ada lima sebab kepemilikan (asbab al-tamalluk) yang dijadikan sebagai sumber daya ekonomi,yaitu:
1. Bekerja (al’amal)
            Kata “bekerja” wujudnya sangat luas, bermacam-macam jenisnya, bentuknya pun beragam, serta hasilnya pun berbeda-beda, maka Allah swt. tidak membiarkan “bekerja” tersebut secara mutlak. Allah swt. juga tidak menetapkan “bekerja” tersebut dengan bentuk yang sangat umum. Akan tetapi Allah swt. telah menetapkan dalam bentuk kerja-kerja tertentu yang layak untuk dijadikan sebagai sebab kepemilikan. Bentuk-bentuk kerja yang disyariatkan, sekaligus bisa dijadikan sebagai sebab pemilikan harta, antara lain:
            a. Menghidupkan Tanah Mati (ihya’ almawaat)
Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya, dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkannya adalah mengolahnya dengan menanaminya, baik dengan tanaman maupun pepohonan, atau dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Berdasarkan sabda Nabi Saw. yang menyatakan: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah (mati yang telah dihidupkan) tersebut adalah miliknya.” (HR. Imam Bukhari dari Umar Bin Khaththab). Ketentuan ini berlaku umum, mencakup semua bentuk tanah; baik tanah dar al-Islam (negara Islam), ataupun tanah dar al-kufur (negara kufur); baik tanah tersebut berstatus ‘usyriyah (yang dikuasai negara Islam tanpa melalui peperangan) ataupun kharajiyah (yang ditaklukkan Islam melalui peperangan). Kepemilikan atas tanah tersebut agar menjadi hak miliknya, maka tanah tersebut harus dikelola selama tiga tahun secara terus-menerus sejak mulai dibuka. Apabila tanah tersebut belum pernah dikelola selama tiga tahun berturut-turut sejak tanah itu dibuka, atau setelah dibuka malah dibiarkan selama tiga tahun berturut-turut, maka hak pemilikan orang yang bersangkutan atas tanah tersebut telah hilang.
             b. Menggali Kandungan Bumi
            Yang termasuk kategori bekerja adalah menggali apa terkandung di dalam perut bumi, yang bukan merupakan harta yang dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik), atau disebut rikaz. Adapun jika harta temuan hasil penggalian tersebut merupakan hak seluruh kaum muslimin, maka harta galian tersebut merupakan hak milik umum (collective property). Apabila harta tersebut asli, namun tidak dibutuhkan oleh suatu komunitas (publik), semisal ada seorang pemukul batu yang berhasil menggali batu bangunan dari sana, ataupun yang lain, maka harta tersebut tidak termasuk rikaz, juga tidak termasuk hak milik umum (collective property), melainkan termasuk hak milik individu (private property). Termasuk juga dalam pengertian jenis harta galian (hasil perut bumi) seperti barang yang diserap dari udara, seperti oksigen dan nitrogen. Begitu juga dengan ciptaan Allah yang telah diperbolehkan oleh syara’ dan dibiarkan agar bisa dimanfaatkan.
            c. Berburu
             Berburu termasuk dalam kategori bekerja. Misalnya berburu ikan, mutiara, batu pemata, bunga karang serta harta yang dipeloleh dari hasil buruan laut lainnya, maka harta tersebut adalah hak milik orang yang memburunya, sebagaimana yang berlaku dalam perburuan burung dan hewan-hewan yang lain. Demikian harta yang dipeloleh dari hasil buruan darat, maka harta tersebut adalah milik orang yang memburunya. Allah Swt. berfirman dalam surat al-Ma’idah ayat 96: “Dihalalkan bagimu, binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orangorang yang dalam perjalanan, dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram”. (Q.S. AlMa’idah : 96)
             d. Makelar (samsarah)
            Simsar (broker/pialang) adalah sebutan bagi orang yang bekerja untuk orang lain dengan upah, baik untuk keperluan menjual maupun membelikan. Sebutan ini juga layak dipakai untuk orang yang mencarikan (menunjukkan) orang lain. Makelar (samsarah) termasuk dalam kategori bekerja yang bisa dipergunakan untuk memiliki harta, secara sah menurut syara’.
            e. Mudlarabah (bagi hasil)
            Mudlarabah adalah perseroan (kerjasama) antara dua orang dalam suatu perdagangan. Dimana, modal (investasi) finansial dari satu pihak, sedangkan pihak lain memberikan tenaga (‘amal). Dalam sistem mudlarabah, pihak pengelola memiliki bagian pada harta pihak lain karena kerja yang dilakukannya. Sebab, mudlarabah bagi pihak pengelola termasuk dalam kategori bekerja serta merupakan salah satu sebab kepemilikan. Akan tetapi, mudlarabah bagi pihak pemilik modal (investor) tidak termasuk dalam kategori sebab kepemilikan, melainkan merupakan salah satu sebab pengembangan kekayaan. Nabi Saw. pernah bersabda: “Perlindungan Allah Swt. di atas dua orang yang melakukan perseroan (kerjasama) selama mereka tidak saling menghianati. Jika salah seorang dari mereka berdua menghianati mitranya, maka Allah mencabut perlindungan-Nya atas keduanya” (HR. AdDaruquthny).
             f. Musaqat (paroan kebun)
            Musaqat adalah seseorang menyerahkan pepohonan (kebun) nya kepada orang lain agar ia mengurus dan merawatnya dengan mendapatkan konpensasi berupa bagian dari hasil panennya. Dengan demikian, musaqat termasuk dalam kategori bekerja yang telah dinyatakan kebolehannya oleh syara’.
           
            g. Ijarah (kontrak kerja)
            Islam memperbolehkan seseorang untuk mengontrak tenaga para pekerja atau buruh, agar mereka bekerja untuk orang tersebut. Ijarah adalah pemilikan jasa dari seorang ajiir (orang yang dikontrak tenaganya) oleh musta’jir (orang yang mengontrak tenaga), serta pemilikan harta dari pihak musta’jir oleh seorang ajiir. Sementara ajiir adakalanya bekerja untuk seseorang dalam jangka waktu tertentu, seperti orang yang bekerja di laboratorium, kebun, atau ladang seseorang dengan honorarium tertentu, atau seperti pegawai negeri atau swasta.
2. Pewarisan (al-irts)
            Yang termasuk dalam kategori sebab-sebab pemilikan harta adalah pewarisan, yaitu pemindahan hak kepemilikan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya, sehingga ahli warisnya menjadi sah untuk memiliki harta warisan tersebut. Berdasarkan firman Allah Swt: Dan Allah swt. mensyariatkan bagimu tentang (pembagian harta pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak wanita; dan jika anak itu semuanya wanita lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. (QS. an-Nisaa’:11). Dengan demikian, pewarisan adalah salah satu sebab pemilikan yang disyariatkan. Oleh karena itu, siapa saja yang menerima harta waris, maka secara syara’ dia telah memilikinya. Jadi waris merupakan salah satu sebab pemilikan yang telah diizinkan oleh syari’at Islam.
 3. Pemberian harta negara kepada rakyat
            Yang juga termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah pemberian negara kepada rakyat yang diambilkan dari harta baitul maal, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup, atau memanfaatkan kepemilikan. Mengenai pemenuhan hajat hidup adalah semisal memberi mereka harta untuk menggarap tanah pertanian atau melunasi hutang-hutang. Umar bin Khaththab telah membantu rakyatnya untuk menggarap tanah pertanian guna memenuhi hajat hidupnya, tanpa meminta imbalan. Kemudian syara’ memberikan hak kepada mereka yang mempunyai hutang berupa harta zakat. Mereka akan diberi dari bagian zakat tersebut untuk melunasi hutang-hutang mereka, apabila mereka tidak mampu membayarnya. Firman Allah Swt.: “... dan orang-orang gharim.” (Q.S. at-Taubah: 60). Maksudnya adalah orang-orang yang mempunyai hutang.

4. Harta yang diperoleh tanpa kompensasi harta atau tenaga
            Yang termasuk dalam kategori sebab kepemilikan adalah perolehan individu, sebagian mereka dari sebagian yang lain, atas sejumlah harta tertentu tanpa kompensasi harta atau tenaga apa pun. Dalam hal ini mencakup lima hal:
            a. Hubungan pribadi, antara sebagian orang dengan sebagian yang lain, baik - harta yang diperoleh karena - hubungn ketika masih hidup, seperti hibbah dan hadiah, ataupun sepeninggal mereka, seperti wasiat.
             b. Pemilikan harta sebagai ganti rugi (kompensasi) dari kemudharatan yang menimpa seseorang, semisal diyat orang yang terbunuh dan diyat luka karena dilukai orang. c. Mendapatkan mahar berikut hal-hal yang diperoleh melalui akad nikah.
            d. Luqathah ( barang temuan).
            e. Santunan yang diberiakan kepada khalifah dan orang-orang yang disamakan statusnya, yaitu samasama melaksanakan tugas-tugas termasuk kompensasi kerja mereka melainkan konpensasi dari pengekangan diri mereka untuk melaksanakan tugas-tugas negara. Dengan demikian, Islam melarang seorang muslim memperoleh barang dan jasa dengan cara yang tidak diridhai Allah Swt, seperti; judi, riba, pelacuran, korupsi, mencuri, menipu dan perbuatan maksiat lainnya.
C.JENIS JENIS KEPEMILIKAN
            Sumber daya merupakan faktor produksi maupun harta yang dapat digunakan untuk meningkatkan nilai tambah /dikonsumsi oleh pemiliknya.Dalam Islam,pemilik segala sumber daya adalah Allah SWT karena Dia lah Pencipta,Pengatur dan Pemilik segala yang ada di muka bumim ini sebagaiman firman Allah dalam QS.AL Baqarah (2) 284 :
            “Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi.Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu meyembunyikanya ,niscaya Allah akan membuat perhiyungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu.Maka Allah mengampuni siapa saja yang dikehendaki Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki Nya dan Allah Maha Kuas atas segala sesuatu.”
            Sedangkan manusia adalah pihak yang mendapatkan kuasa dari Allah SWT untuk memiliki dan memanfaatkan garta tersebut,sebagaiman dalam QS Al Hadid (57) : 7 .Pelimpahan Allah SWT atas penguasaan harta kepada sseorang ,suatu kaum atau bahkan suatu negara menjadikan mereka sebagai pemilik sumber daya.Pengakuan pemilikan oleh suatu negara atau sistem sangat bergantung pada banguan ideologi yang dimiliki .
            Dalam Islam pengakuan akan kepemilikan bukan didasarkan atas logika manusia ,namun didasarkan kepada hukum syar’a yang ada Hukum syara sangat jelas menagtur apa yang menjadi milik individu,dan  apa apa yang tidak boleh dimiliki individu,serta apa yang seharusnya diatur oleh negara,dan apa saja yang tidak boleh diatur.Hukum Islam mengakui kepemilikan sumber daya  dalam bentuk kepemilikan individu,umum/bersama dan negara.
A.Kepemiikan Pribadi (Al Milkiyyat Al Fardiyah)
            Sumber daya individu merupakan  seluruh sumber dsya yang dalam kendali atau penguasaan individu untuk digunakan dan dimanfaatkan serta dikembangkan sesuai dengan hukum syara’ tanpa izin mutlak pihak lain,sementara pemanfaatan dan pengembangan harta individu oleh pihak lain harus mendapat izin dan keridhaan  individu pemilik.Dengan demikian kepemilikan individu mengecualikan orang lain untuk memanfaatkanya kecuali dengan ridho individu yang bersangkutan.Unsur keridhaan ini dapat diselesaikan baik melalui mekanisme pasar maupun non pasar.[3]
            Selanjutnya sumber daya individu dapat dialihkan menjadi kepemilkan bersama maupun kepemilikan negara.Peralihan sumber daya individu menjadi kepemilikan bersama dapat dilakukan berupa wakaf,sementara menjadi kepemilikan negara dapat berupa zakat/pajak.
B.Kepemilikan  Bersama Sumber Daya (Al Milkiyyat Al ‘Ammah)
            Sumber daya bersama merupakan sumber daya yang telah ditetapkan dalam hukum syara sebagai milik bersama masyarakat,sehingga pemanfaatanya tidak dapat dikecualikan dan tidak melalui izin tertentu,kecuali izin pengaturan yang telah ditetapkan bersama maupun oleh negara.Sumber daya bersama tidak dapat dimiliki oleh seorang individu,bahkan oleh negara sekalipun. Keberadaan kepemilikan bersama ini dapat bersumber dari alam,sumbanagn individu,pengadaan secara bersama,serta penyediaan oleh negara. Sementara pengelolaan sumber daya bersama dapat dikelola secara bersama maupun negara. Pengelolaan secara bersama misalnya gotong royong atas lingkungan sekitar  untuk perbaikan  jalan,jembatan serta sarana ibadah. Sementara contoh pengelolaan sumber daya bersama oleh negara yaitu eksplorasi sumber daya alam melalui perusahaan milik negara. Sumber daya bersam dapat terbagi menjadi 3 kelompok utama yaitu : fasilitas dan sarana umum,sumber daya alam yang tidak terbatas,sumber daya alam yang terbatas namun terlarang untuk dimiliki. [4]
C.Kepemilikan Negara (Al milkiyyat al ‘dawlah)
             Kepemilikan negara terbagi dalam 2 kategori utama ,yaitu : pertama harta milik negara berupa tanah,banguan dan fasilitas lainya; dan kedua,pendapatan negara. Harta milik negara baik dalam bentuk tanah,banguan dan fasilitas lainya seperti /; tanah mati,gunung dan pantai yang tidak dimiliki individu; bangunan dan fasilits lain yang dibgaun oleh negara maupun hasil penaklukan negara yang dikhususkan untuk kegiatan pemerintahan.[5]Negara dapat mengalihkan harta tersebut kepada individu salama tidak bertentangan dengan hukum syara. Misalnya tanah mati dapat diberikan kepada individu untuk dikelolola dan dimafaatkan dalam ragka ememnuhi kebutuhan individu tersebut. Sebagaimana hadist Riwayat Abu Dawud :
“Dari Amru,ia berkata : Ketika rasulullah saw tinggal di kota Madinah  belau memberikan (sebidang tanah peny) kepada Abu Bakar dan Umar.Hal yang sma kepada Zubair bin Awwam tanah yang sangat luas.Dan beliau membagikan tanah te[at dimana kudanya berjalan di atas tanah mati yang berair.Beliau juga memberikan tanah yang ditumbuhi pepohinan dan kurma.
           
Hadis lain :
“Dari Urwah,dari Aisyah Ra bahwa Nabi Shalallahualaihi wa salam bersabda : ‘’barangsiapa memakmurkan tanah yang tidak dimiliki oleh siapa pun maka ia lebih berhak dengan tanah tersebut.’Urwah berkata : Umar memberlakukan hukum itu pada masa khilafahnya.”
            Pada sisi lain ,pendapatan negara sangat terkait dengan keberadaan Baitul Mal.Jenis  sumber daya yang dikelola dalam baitul mal berupa harta (1) Ghanimah,fai,khumus,kharaj,jisyah,usyur; (2) zakat dan daribah (3) hasil pengelolaan kekayaan oleh negara (4) pendapatan negara lainya.
























BAB III
PENUTUP

A.Simpulan
            Islam mengakui fitrah manusia untuk mencintai harta dan memilikinya. Harta yang ada di tangan manusia hanyalah titipan dan amanat yang harus ditunaikan sesuai apa yang diinginkan sang pemilik-Nya. Konsep harta dalam Islam sangat komprehensif, dimana Islam tidak hanya mengatur bagaimana harta itu dapat diperoleh dengan cara yang halal, bagaimana harta dapat dikembangkan, dan didayagunakan, akan tetapi juga mengatur bagaimana agar harta itu dapat berfungsi mensejahterakan umat, yaitu dengan menggerakkan para pemilik untuk mendistribusikan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Justru itu, Islam mengakui adanya kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Ketiga macam kepemilikan tersebut diberi batasan wewenang sesuai dengan fungsinya masing-masing. yang pada intinya agar terjaga keseimbangan untuk menuju kesejahteraan baik individu, masyarakat dan negara.
            Kepemilikan adalah kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu berupa barang,harta baik riil (nyata) maupun secara hukum, yang memungkinkan pemilik melakukan tindakan seperti jual beli, hibah, wakaf, dan yang lainya sehingga dengan kekuasaan tersebut pihak lain baik secara individual maupun kelembagaan terhalang untuk memanfaatkan atau mempergunakan barang tersebut. Namun juga harus dipahami bahwa kepemilikan  ini tidak berarti memberi hak mutlak penuh kepada pemilik ,melainkan  harus sesuai dengan aturan.Hal ini dikarenakan kepemilikan harta pada esensinya hanya sementara,tidak abadi ,tidak lebih dari pinjaman terbatas dari Allah SWT.
          
DAFTAR PUSTAKA
Fordeby,Adesy.2016.Ekonomi dan Bisnis islam.(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)
Hakim,Lukman.2012.Prinsip Prinsip Ekonomi Islam.(Bandung : Penerbit Erlangga
Bashir,Ahmad Azhar. 1993.Refleksi atas persoalan keislaman(Bandung : Mizan).


[1]Hakim,Lukman.2012.Prinsip Prinsip Ekonomi Islam.(Bandung : Penerbit Erlangga).hlm.42
[2]Bashir,Ahmad Azhar. 1993.Refleksi atas persoalan keislaman(Bandung : Mizan).hlm.180
[3]Fordeby,Adesy.2016.Ekonomi dan Bisnis islam.(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)hlm.300
[4]Fordeby,Adesy.2016.Ekonomi dan Bisnis islam.(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)hlm.301
[5]Fordeby,Adesy.2016.Ekonomi dan Bisnis islam.(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada)hlm.305

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.