Ads Top

Pengertian Muzara'ah, Mukhabarah, dan Musaqah


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Tuhan menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah atau pemimpin untuk diri sendiri maupun orang lain. Manusia juga dijadikan Allah SWT sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan antara satuu dengan yang lain. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia harus berusaha mencari karunia Allah yang ada dimuka bumi ini sebagai sumber ekonomi.
Dalam kehidupan sosial, Nabi Muhammad mengajarkan kepada kita semua tentang bermuamalah agar terjadi kerukunan antar umat serta memberikan keuntungan bersama.
Dalam pembahasan kali ini, pemakalah ingin membahas tiga diantara muamalah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW yaitu  Muzara’ah, Mukhabarah, dan Musaqah,  Karena di dalam pembahasan ini terdapat suatu hikmah untuk kehidupan sosial.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian Muzara’ah?
2.      Apa PengertianMukhabarah?
3.      ApaLandasan Hukum Mukhabarah?
4.      ApaSajaRukun dan Syarat Mukhabarah?
5.      ApaPengertian Al-musaqah?
6.      ApaSajaRukun dan Syarat Musaqah?
7.      ApaSajaKetentuan Al-Musaqah?
8.      BagaimanaBerakhirnya akad Musaqah?

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Muzara’ah

Menurut Bahasa muzara’ah artinya penanaman lahan. Menurut istilah muzara’ah adalah suatu usaha kerjasama Antara pemilik sawah atau lading dengan petani penggarap yang hasilnya dibagi menurut kesepakatan, dimana benih tanaman dari si pemilik tanah. Al- Muzara’ah memiliki dua arti, yang pertama al-muzara’ah yang berarti tharh al-zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (al- hadzar). Makna pertama adalah makna majaz dan makna yang kedua adalah makna hakiki.[1]
Menurut Sayyid Sabiq, dalam bukunya Fikih Sunnah mendefinisikan muzara’ah dengan kerja sama dalam penggarapan tanah dengan imbalan sebagian dari apa yang dihasilkannya. Dan maknanya disini adalah pemberian tanah kepada orang yang akan menanaminya dengan catatan bahwa dia akan mendapatkan porsi tertentu dari apa yang dihasilkannya, seperti setengah, sepertiga atau lebih banyak dan lebih sedikit dari itu, sesuai dengan kesepakatan kedua belahpihak.[2]
Menurut Imam Syafi‟I, Muzara’ah adalah sebagai pengolah tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit disediakan oleh pemilik lahan.[3]
Imam Hanafi dan Jafar tidak mengakui keberadaan muzara’ah dan menganggap fasid. Begitu pula Imam Syafi‟i, tetapi sebagian ulama Syafi‟iyah mengakui dan mengkaitkan dengan musyaqah (pengolahan kebun) dengan alasan untuk memenuhi kebutuhan, tetapi mereka, tidak membolehkan mukhabarah sebab tidak ada landasan yang membolehkannya.
Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat imam Abu Hanafiah). Imam Malik, Ahmad dan Abu Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa Muzara’ah di bolehkan. Hal itu didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh jama‟ah dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang di hasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.[4]

Abu Yusuf dan Muhammad (sahabat imam Abu Hanafiah). Imam Malik, Ahmad dan Abu Dawud Azh-Zhahiri berpendapat bahwa Muzara’ah di bolehkan. Hal itu didasarkan pada hadist yang diriwayatkan oleh jama‟ah dari Ibn Umar bahwa Nabi SAW bermuamalah dengan ahli Khaibar dengan setengah dari sesuatu yang di hasilkan dari tanaman, baik buah-buahan maupun tumbuh-tumbuhan.
Bisa juga apabila tanah, peralatan pertanian dan benih semuanya dibebankan kepada pemilik tanah sedangkan hanya buruh yang dibebankan kepada petani, maka harus ditetapkan pemilik tanah mendapatkan bagian tertentu dari hasil.Atau apabila keduanya sepakat atas tanah, perlengkapan pertanian, benih dan buruh serta menetapkanbagian masing-masing yang diperoleh dari hasil. Sabda Rasulullah SAW berikut :
barang siapa yang memiliki tanah, penggarapannya harus dilakukan sendiri atau menyerahkan secara sukarela kepada saudara sesama muslim untuk melakukan kedua hal tersebut, maka tanah itu harus tetap dipegangnya sendiri.”
Menurut hadist Rasulullah s.a.w diatas bahwa tidak seharusnya orang-orang munguasai lahan yang luas dan tidak diolahnya sendiri, atau tidak membiarkan orang-orang yang butuh untuk memanfaatkannya dan orang-orang harus dicegah untuk memiliki tanah secara berlebih lebihan karena hal itu dapat menghancurkan masyarakat.[5]
Allah berfirman dalam Al-Qur‟an surat Yasin ayat 33-35
 Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, Maka daripadanya mereka makan. dan Kami jadikan padanya kebun-kebunkurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat Makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah mereka tidak bersyukur?”
Dari ayat Al-Qur‟an di atas kita sebagai manusia telah disediakan alam semesta meserta isinya untuk dikelola dan dari hasilnya dapat digunakan untuk mensejahteran diri dan keluarga.
B.     Pengertian Mukhabarah
Dalam kamus, mukhabarah ialah kerja sama pengolahan pertanian antara lahan dan penggarap dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (persentase) dari hasil panen yang benihnya berasal dari penggarap. Bentuk kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap dengan perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi menurut kesepakatan. Biaya dan benihnya dari pemilik tanah.[6]
Ulama’ Syafi’iyah membedakan antara mujara’ah dan mukabarah:
اَلْمُخَبَرَةُهِيَ عَمَلُ اْلاَرْضِ بِبَعْضِ مَا يَحْرُجُ مِنْهَا وَألْبَذْرُمِنَ الْعَامِلِ . وَالْمُزَارَعَةُ هِيَ اَلْمُخَابَرَةُ وَلَكِنَّ الْبَذْ رَفِيْهَا يَكُوْنُ مِنَ الْمَالِكِ.
"Mukhabarah adalah mengelola tanah diatas sesuatu yang dihasilkannya dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun mujara’ah sama seperti Mukabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah."[7]
Adapun pengertian lain dari mukhabarah menuru para ahli ialah:[8]
1.      Menurut dhahir nash, al-Syafi’i berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
معاملة العامل فى الأرض ببعض مايخرج منها على ان يكون البذر من الملك
“Menggarap tanah dengan apa yang dikeluarkan dari tanah tersebut”
2.      Syaikh Ibrahim al-Bajuri berpendapat bahwa mukhabarah ialah:
عمل العامل فى ارض الملك ببعض ما يخرج منها والبذر من العامل
“Sesungguhnya pemilik hanya menyerahkan tanah kepada pekerja dan modal dari pengelola”.


Dapat dipahami dari pemaparan di atas bahwa mukhabarah dan muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaan. Persamaannya ialah antara mukhabarah dan muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedannya ialah pada modal, bila modal berasal dari pengelola disebut mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah disebut muzara’ah.
Pada umumnya, kerja sama mukhabarah ini dilakukan pada perkebunan yang benihnya relatif murah, seperti padi, jagung dan kacang. Namun tidak tertutup kemungkinan pada tanaman yang benihnya relatif murah juga dilakukan kerja sama muzara’ah.

C.    Landasan Hukum Mukhabarah
Sebagian besar ulama melarang paroan tanah semacam ini. Mereka beralasan pada beberapa hadits yang melarang paroan tersebut. Hadits itu ada dalam kitab Hadits Bukhari dan Muslim, diantaranya:
عن رافع بن خديج قال كنا اكثر الانصار حقلا فكنا نكرى الارض على ان لنا هذه ولهم هذه فربما اخرجت هذه ولم تخرج هذه فنهانا عن ذلك - رواه البخارى
Rafi’ bin Khadij berkata, “Di antara Ansar yang paling banyak mempunyai tanah adalah kami, maka kami persewakan, sebagian tanah untuk kami dan sebagia untuk mereka yang mengerjakannya. Kadang-kadang sebagian tanah itu berhasil baik, dan yang lain tidak berhasil. Oleh karena itu, Rasulullah SAW melarang paroan dengan cara demikian.” (Riwayat Bukhari).

Ulama yang lain berpendapat tidak ada halangan. Pendapat ini dikuatkan oleh Nabawi, Ibnu Mundzir, dan Khattabi. Mereka mengambil alasan hadits Ibnu Umar:
عن ابن عمر ان النبى صلى الله عليه وسلم عاعمل اهل خيبر بشرط ما يخرج منها من ثمر او زرع - رواه مسلم
Dari Ibnu Umar, “Sesungguhnya Nabi SAW telah memberikan kebun beliau kepada penduduk Khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah-buahan maupun dari hasil pertahunan (Palawija).” (Riwayat Muslim).

Adapun hadis yang melarang tadi maksudnya hanya apabila penghasilan dari sebagian tanah ditentukan mesti kepunyaan salah seorang diantara mereka. Karena memang kejadian dimasa dahulu itu mereka memarokan tanah dengan syarat akan mengambil penghasilan dari tanah yang lebih subur, persentase bagian masing-masingpun tidak diketahui. Keadaan inilah yang dilarang oleh junjungan Nabi Saw dalan hadis tersebut, sebab pekerjaan demikian bukanlah dengan cara adil dan jujur. Pendapat inipun dikuatkan dengan alasan bila dipandang dari segi kemaslahatan dan kebutuhan orang banyak. Memang kalau kita selidiki hasil dari adanya paroan ini terhadap umum, sudah tentu kita akan lekas mengambil keputusan yang sesuai dengan pendapat yang kedua ini.[9]
Landasan hukum yang membolehkan mukhabarah dan muzaraah, dari sabda Nabi saw :
عَنْ طَاوُسِ أَنَّهُ كَانَ يُخَبِرُ, قَالَ عَمْرٌو فَقُلْتُ لَهُ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَن لَوْ تَرَكْتَ هَذِهِ الْمُخَابَرَةَ فَاءِنَّهُمْ يَزْعُمُوْنَ أَنَّ النَّبِىَّ صَلى اللّه عَليه وسلم نَهَى عَنِ الْمُخَاب ةِ فَقَالَ أَيْ عَمْرٌو : أَخْبِرْنِى أَعْلَمُهُمْ بِذَالِكَ يَعْنِى ابْنَ عَبَّاسٍ أَننَّ النَّبيَّ صلى اللّه عليه وسلم لَمْ يَنْهَ عَنْهَا إِنَّمَا قَالَ يَمْنَحُ أَ حَدُكُمْ أَخَاهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَأْ خُذُ عَلَيْهَا خَرْجًا مَعْلُوْمًا (رواه مسلم)
“Dari Thawus ra. bahwa ia suka bermukhabarah. Umar berkata: lalu aku katakan kepadanya: ya Abu Abdurrahman, kalau engkau tinggalkan mukhabarah ini, nanti mereka mengatakan bahwa Nabi saw telah melarang mukhabarah. Lantas Thawus berkata : hai Amr, telah menceritakan kepadaku orang yang sungguh-sungguh mengetahui akan hal itu, yaitu Ibnu Abbas bahwa Nabi saw tidak melarang mukhabarah itu, hanya beliau berkata: seseorang memberi manfaat kepada saudaranya lebih baik daripada ia mengambil manfaat dari saudaranya itu dengan upah tertentu”. (HR.Muslim).[10]

Jadi, hukum mukhabarah sama seperti muzara’ah yaitu mubah atau boleh dan seseorang dapat melakukannya untuk dapat memberi dan mendapat manfaatnya dari kerjasama muzara’ah dan mukhabarah ini.
D.    Rukun dan Syarat Mukhabarah
Rukun Mukhabarah menurut jumhur ulama antara lain:
                  1.         Pemilik tanah
                  2.         Petani/Penggarap
                  3.         Objek mukhabarah
                  4.          Ijab dan qabul, keduanya secara lisan.
Adapun syarat dalam mukhabarah, diantaranya :
a)     Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
b)   Benih yang akan ditanam harusjelas dan menghasilkan.
c)    Lahan merupakan lahan yang menghasilkan,jelas batas batasnya,dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
d)   Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.[11]

E.     Pengertian Al-Musaqah
Al-musaqah berasal dari kata as saqa. Diberi nama ini karena pepohonan penduduk Hijaz amat membutuhkan saqi (penyiraman) ini dari sumur-sumur. Karena itu diberi nama musaqah (penyiraman/pengairan).
Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen.
1.      Landasan syariah
Al hadits
Telah berkata Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Husain bin Abu Thalib r.a. bahwa Rasulullah SAW telah menjadikan penduduk Khaibar sebagai penggarap dan pemelihara atas dasar bagi hasil. Hal ini dilanjutkan oleh Abu Bakar, Umar, Ali serta keluaraga-keluarga mereka sampai hari ini dengan rasio 1/3 dan 1/4 . semua telah dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin pada zaman pemerintahannya dan semua pihak yang telah mengetahuinya, akan tetapi tidak seorang pun yang menyanggahanya. Berarti ini adalah ijma’ sukuti (konsensus) dari umat.
Ibnu umar berkata bahwa Rasulullah SAW pernah memberikan tanah dan tanaman kurma di Khaibar kepada Yahudi Khaibar untuk dipelihara dengan menggunakan peralatan dan dana mereka. Sebagai imbalan, mereka memperoleh persentase tertentu dari hasil panen.[12]
F.     Rukun dan Syarat Musaqah
Rukun musaqah adalah :
a.       Pihak pemesok tanaman
b.      Pemeliharaan tanaman
c.       Tanaman yang dipelihara
d.      Akad[13]
Sedangkan syarat musaqah adalah sebagai berikut:
a.       Ahli dalam akad.
b.      Menjelaskan bagian penggarap.
c.       Membebaskan pemilik dari pohon.
d.      Hasil dari pohon dibagi dua antara pihak-pihak yang melangsungkan akad sampai batas akhir, yakni menyeluruh sampai akhir.
Tidak disyaratkan untuk menjelaskan mengenai jenis benih, pemilik benih, kelayakan kebun, serta ketetapan waktu.
G. Ketentuan Al-Musaqah
Ketentuan Al-Musaqah adalah sebagai berikut:
a)      Pemilik lahan wajib menyerahkan tanaman kepada pihak pemelihara.
b)      Pemelihara wajib memelihara tanaman yang menjadi tanggung jawabnya.
c)      Pemelihara tanaman disyaratkan memiliki keterampilan untuk melakukan pekerjaan.
d)     Pembagian hasil dari pemeliharaan tanaman harus dinyatakan secara pasti dalam akad
e)      Pemeliharaan tanaman wajib menganti kerugian yang timbul dari pelaksanaan tugasnya jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaiannya.[14]
H. Berakhirnya akad Musaqah
Menurut para ulama fiqh, berakhirnya akad musaqah itu apabila:
a.       Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b.      Salah satu pihak meninggal dunia.
c.       Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.
Dalam udzur, disini para ulama berbeda pendapat tentang apakah akad al-musaqah itu dapat diwarisi atau tidak. Ulama Malikiyah berpendapat, bahwa al-musaqah adalah akad yang boleh diwarisi, jika salah satu meninggal dunia dan tidak boleh dibatalkan hanya karena ada udzur dari pihak petani. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa akad al-musaqah tidak boleh  tidak boleh dibatalkan meskipun ada udzur, dan apabila petani penggarap mempunyai halangan, maka wajib petani penggarap itu menunjuk salah seorang untuk melanjutkan pekerjaan itu. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa akad al-musaqah sama dengan akad al-muzara’ah, yaitu akad yang tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Maka dari itu masing-masing pihak boleh membatalkan akad itu. Jika pembatalan itu dilakukan setelah pohon berbuah, dan buah itu dibagi dua antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang telah ada.[15]

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
muzara’ah, mukhabarah, dan musaqah  ialah dimana suatu akad kerja sama yang dilakukan antara dua orang atau lebih dalam pengelolaan pertanian antara pemilik lahan dan si penggarap.
Dalam Musaqah, penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan, si penggarap berhak atas nisbah tertentu dari hasil panen. Berbeda dengan Musaqah, dalam muzara’ah pemilik lahan menyerahkan lahan pada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu (nisbah) dari hasil panen yang benihnya dari pemilik lahan.
Dalam muzara’ah dan mukhabarah terdapat kesamaan dari pembagian kerjasama tersebut dan yang membedakannya adalah apabila modal berasal dari pemilik lahan maka disebut muzara’ah dan pabila modal berasal dari si penggarap itu sendiri maka disebut mukhabarah. Dan untuk pembagian hasil sesuai kesepakatan masing-masing yang melakukan kerja sama tersebut.
Demikian pula hukum muzara’ah, mukhabarah danmusaqah, ini diperbolehkan dikarenakan bentuk kerja sama ini sama-sama memberi manfaat berupa keuntungan hasil perolehannya dapat dibagi bersama sesuai kesepakatan diawal.
B.     Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini,  tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penyusun banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penyusun demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan–kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya juga para pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. 2002Fikih Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Sabiq, Sayyid , 2009Fikih Sunnah, Jakarta : PT. Pena Pundi Aksara.
Muhammad, Teungku, Hasbi As- Shiddieqy, , 1997Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra,Cet. ke-1
Syafei, Rachmat , 2001. fiqihmuamalah, Bandung: PustakaSetia.
Rahman,Afzalur. 1995. Doktrin Ekonomi Islam jild 2, Yogyakarta : PT Verisia Yogya Grafik.

Rasjid, Sulaiman 2012. Fiqh Islam Bandung: Sinar Baru Algensido.

Mardani, 2012Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah, Jakarata: Kencana.

Nawawi,Ismail. 2012. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia,





[1] Hendi Suhendi, Fikih Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 153
[2]Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jakarta : PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 133-134
[3]Teungku Muhammad Hasbi As- Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 1997,Cet. ke-1, hlm.125
[4]Prof. DR. H. RachmatSyafei, MA, fiqihmuamalah, Bandung: PustakaSetia 2001, hlm 206-205
[5] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam jild 2, Yogyakarta : PT Verisia Yogya Grafik, 1995, h 284
[6]H. Muhammad sholahuddin, hal :108
[7]Prof.Dr. Rachmat Syafe’i. hal : 206
[8]Dr. H. Hendi Suhendi,M.Si., hal. 154-155

[9]H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung: Sinar Baru Algensido, September 2012), hlm. 302
[10]Abdul Rahman Ghazali dkk, hal : 118
[11]H. Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012) hlm: 162-164.
[12]Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah Fiqh muamalah, (Jakarata: Kencana, 2012) hal. 242 dan 243
[13]Ibid. hal 243
[14]Ibid. 243 ( lihat juga pasal 267 s/d pasal 270 kompilasi hukum ekonomi syariah)
[15]https://shonz512.wordpress.com/musaqah/

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.