Sebab-Sebab Putusnya Pernikahan
A. Sebas-sebab putusnya pernikahan
Pada adasarnay perniakahan itu dilakukan untuk waktu selamanaya sampai matinya salah seorang suami atau istri. Inilah yang sebenarnya dikehendaki agama islam. Namun, dalam keadaaan tertentu dapat terjadi hal-hal yang mengkehendaki putusnya pernikahan itu dalam arti jika hubungan pernikahan tetap dilanjutkan maka akan terjadi kemudharatan. Dalam hal ini islam membenarkan putusnya pernikahan sebagai langkah terakhir dari usaha melanjutkan rumah tangga. Putusnaya perkawinan dengan begitu adalah suatu jalan keluar yang baik.
Putusnay perkawianan dalam hal ini berati berakhirnya hubbungan suami istri. Putusnya pernikahan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung pada siapa sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya pernikahan itu. Dalam hal ini ada empat kemungkinan :
1. Putusnya pernikahan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya salam seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya putus pula hubungan pernikahan.
2. Putusnya pernikahan karena kehendak si suami oleh alasn tertentu dan dinyatakannya kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian yang seperti ini disebut “Thalaq”.
3. Putusnya pernikahan atas kehendak si istri karena si istri melihat sesuau yang mengkehendaki putusnya perkawinan sedangan si suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya pernikahan yang disampaikan istri ini denagn membayar uang ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapannya untuk memutuskan pernikahan. Putusnya perniakahan dengan cara ini disebut “ Khulu’ ”.
4. Putusnya pernikahan karena kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau istri yang menandakan tidak dapatnya hubungan pernikahan itu dilanjutkan. Putusnya pernihaka seperti ini disebut “Fasakh”.[1]
B. Ketentuan Thalaq dalam Islam
Hidup dalam hubungan pernikahan adalah sunnah Allah dan sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh islam. Sebaliknya melepaskan diri dari kehidupan perkawinan itu menyakahi sunnah dan kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang akinah mawaddah wa rahmah. Meskipun demikian bila hubungaan pernikahan itu tidak dapat lagi dipertahankan dan jika dilanjutkan akan menghadapi kehancuran dan kemudharatan, maka islam membuka pintu untuk melaksanakan perceraian. Dengan demikian pada dasarnya perceraian itu atau thalaq itu adaah sesuatu yang tidak disenangi yang dalam ushul fiqh disebut makruh.
Hukum makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha untuk mencegah terjadinya thalaq itu dengan berbagai tahap, hal ini tercantum dalam quran surah An-Nisa’ ayat 34 :
“ Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah dan pisahkam mereka dari tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya “
Adapun ketidaksenangan Nabi kepada perceraian itu terlihat dari haditsnya Ibnu Umar menurut riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan disahkan oleh hakim, sabda Nabi : “ Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah Thalaq”.[2]
Syarat dan rukun thalaq:
1. Suami, seseorang yang memiliki hak thalaq dan berhak menjatuhkan thalaq. Untuk sahnya thalaq disyaratkan :
a. Berakal, suami yang gila, hilang akal karena sakit atau rusak sharaf tidak sah menjatuhkan thalaq.
b. Baligh
c. Atas kemauan sendiri, orang yang dipaksa melakukan thalaq maka thalaqnya tidah sah.
2. Istri, suami hanya berhak menjatuhkan thalaq terhadap istri sendiri, tidak dijatuhkan pada istri orang lain. Syarat istri yang di thalaq:
a. Istri masih tetap dalam perlindungan kekuasaan suami
b. Kedudukan istri yang di thalaq itu harus berdasarkan akad perkawinan yang sah.
3. Sighat thalaq, yaitu kata-kata yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan thalaq baik itu sharih (jelas), maupun kiyanah (sindiran), baik berupa ucapan/ lisan,tulisan,isyarat bagi suami yang tuna wicara.
4. Qasdu (sengaja), artinya dengan ucapan thalaq itu memang diucapkannya benar-benar untuk thalaq.[3]
5. Wilayah, yaitu suami mempunyai wewenang menjatuhkan thalaq.[4]
[1] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenademedia Group, 2003) hlm. 124-125.
[2] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana Prenademedia Group, 2003) hlm. 126-127.
[3] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Kencana,2003) hlm.201-205.
[4] Peunoh Dali, Hukum Perkawinan Islam:Suatu Study Perbandingan Dalam Kalangan Ahlu Sunnah dan Negara-Negara Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), hlm.87.
Tidak ada komentar: