Cara Islam Masuk ke Indonesia dan apa saja faktornya
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Negara Indonesia merupakan Negara dengan populasi penduduk beragama Islam terbesar didunia, bahkan Negara-negara timur tengah masih belum bisa menandingi Indonesia dalam hal populasi penduduknya. Walaupun Indonesia bukanlah Negara yang menjadi tempat turunnya agama Islam, namun Indonesia mampu menjadi tempat bagi mayoritas umat beragama Islam. Itu merupakan sesuatu hal yang dapat kita banggakan sebagai warga Indonesia. Akan tetapi akan lebih baik pula, saat kita juga mengeahui bagaimana agama mayoritas ini masuk kedalam Indonesia.
Walisongo merupakan kelompok tokoh yang menyebarkan agama islam dalam tanah jawa, sampai-sampai namanya kini diabadikan menjadi sebuah Universitas di kota Semarang, tempat dimana kita belajar sekarang ini. Sebagai mahasiswa milenial, apakah kita sudah tahu bagaimana sejarah para leluhur penyebar agama Islam dalam tanah jawa? Dan terlebih lagi, Walisongo merupakan pemantik dimana kerajaan diindonesia mulai berubah haluan dari kerajaan bercorak Hundu-Budha menjadi kerajaan Islam. Dan terlebih lagi kita yang menempuh studi di Universitas Walisongo haruslah mengetahui sejarahnya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Cara Islam Masuk ke Indonesia?
2. Faktor apa saja yang digunakan agar Islam masuk ke Indonesia dengan mudah?
3. Siapa sebenarnya Walisongo itu?
4. Apa saja peran yang sudah dibuktikan oleh Walisongo?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Masuknya Islam di Indonesia
Proses masuknya agama Islam ke Indonesia masih diperdebatkan waktu kepastiannya. Beberapa sejarawan menyebutkan bahwa abad 7 Masehi sebagai awal masuknya Islam ke Indonesia. Sebagian lainnya meyebutkan abad ke-13 Masehi. Sumber sejarah yang memberitakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 Mashi berasal dari Cina zaman Dinasti tang. Catatan ini menerangkan bahwa pada tahun 674 Masehi di pantai barat Sumatra telah terdapat perkampungan orang-orang Arab yang beragama Islam. Perkampungan tersebut dinamakan Barus atau Fansur.
Adapun sumber sejarah yang menyatakan Islam mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-13 Masehi, yaitu sebagai berikut.
a. Catatan pejalanan Marco Polo yang menerangkan bahwa ia singgah di Perlak pada tahun 1292 Masehi dan berjumpa dengan orang-orang yang telah menganut agama Islam.
b. Ditemukan nisan makam Raja Samudra Pasai, Sultan Malik al Saleh yang berangka tahun 1297 Masehi.[1]
Terdapat perbedaan pendapat tentang kapan, dari mana, dan di mana pertama kali Islam datang ke Nusantara. Namun, secara garis besar perbedaan pendapat itu dapat dibagi menjadi sebagai berikut.
1) Pendapat pertama dipelopori oleh sarjana-sarjana orientalis Belanda, di antaranya Snouck Hurgonje yang berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13 M dari Gujarat (bukan dari Arab langsung) dengan bukti ditemukannya makam sultan yang beragama Islam pertama Malik As-Sholeh, raja pertama kerajaan Samudra Pasai yang dikatakan berasal dari Gujarat.
2) Pendapat kedua dikemukakan oleh sarjana-sarjana Muslim, di antaranya Prof. Hamka, yang mengadakan “Seminar Sejarah Masuknya Islam di Indonesia” di Medan tahun 1953. Hamka dan teman-temannya berpendapat bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama hijriyah (± abad ke7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulai jauh sebelum abad ke-13 M (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui Selat Malaka yang menghubungkan Dinasti Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan Bani Umayyah di Asia Barat.
3) Sarjana muslim kontemporer seperti Taufik Abdullah mengkompromikan kedua pendapat tersebut. Menurut pendapatnya memang benar Islam sudah datang ke Indonesia sejak abad pertama hijriyah atau abad ke-7 atau 8 Masehi, tetapi baru dianut oleh para pedagang Timur Tengah di pelabuhan-pelabuhan. Barulah Islam masuk secara besar-besaran dan mempunyai kekuatan politik pada abad ke-13 dengan berdirinya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini terjadi akibat arus balik kehancuran Baghdad ibukota Abbasiyah oleh Hulugu Khan. Kehancuran Baghdad menyebabkan pedagang muslim mengalihkan aktivitas perdagangan ke arah Asia Selatan, Asia Timur, dan Asia Tenggara.[2]
Meski terdapat perbedaan pendapat mengenai kedatangan Islam ke Indonesia, banyak ahli sejarah cenderung percaya bahwa masuknya Islam ke Indonesia pada abad ke-7 Masehi. Abad ke-13 Masehi menunjuk pada perkembangan Islam bersamaan dengan tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia.
B. Proses Penyebaan Islam di Indonesia
Masuknya islam di Indonesia memiliki beberapa jalur yang sampai saat ini masih menjadi perdebatan antar para sejarawan, namun bukan hanya itu saja yang harus kita ketahui. Ada factor yang lebih nyata dan para sejarawan sudah sepakat soal faktor apa saja memudahkan Islam masuk di Indonesia, sebagaimana berikut:
1. Perdaganga
Pada abad ke-7 M, bangsa Indonesia kedatangan para pedagang Islam dari Arab, Pesia dan India. Mereka telah ambil bagian dalam keguatan berdagang di Indonesia. Hal ini menimbulkan jalinan hubungan dagang antara masyarakat Indonesia dan para pedagang Islam. Selain berdagang, sebagai seorang muslim para pedagang dari luar juga memiliki kewajiban berdakwah, maka para pedagang Islam juga mengajarkan agama dan kebudayaan Islam kepada warga Indonesia.
Dengan cara tersebut, banyak pedagang Indonesia yang memeluk agama Islam dan merekapun menyebarkan agama danbudaya Islam yang baru dianutnya kepada orang lain. Proses penyebaran Islam melalui perdagangan bisa dikatakan sangat efektif dibanding cara lainnya. Sebab dalam perdagangan bukan hanya dari golongan masyarakat bawah, namun golongan atas juga bisa memeluk agama Islam, seperti kaum bangsawan atau raja.
2. Perkawinan
Para pedagang muslim melakukan aktivias perdagangan di Indonesia dalam jangka waktu yang cukup lama, banyak dari mereka yang tinggal dalam waktu lama di suatu daerah perdagangannya. Keadaan inilah yang membuat pedagang menjadi lebih akrab dengan para penduduk asli atau yang dikenal dengan pribumi.
Hubungan yang baik ini membuat kedua belah pihak merasa saling melengkapi, bahkan tidak jarang pula timbulnya sebuah hubungan yang jauh lebih dalam lagi antara kedua pihak, dan hubungan itu diteruskan dalam hubungan penikahan. Melalui perkawinan inilah terlahir seorang muslim. Lambat laun akan terbentuk sebuah daerah dimana masyarakatnya menggunakan adat Islam, hingga suatu ketika akan muncul sebuah kerajaan yang menjunjung adat Islam.
3. Politik
Seorang raja pasti memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar terhadap masyarkatnya serta memegang peranan penting dalam proses Islamisai. Saat seorang raja memasuki agama Islam, maka masyarakatnya akan berbondong-bondong pula untuk memeluk agama Islam. Sudah menjadi hal biasa di daerah Indonesia, dimana masyarakatnya mempunyai loyalitas yang sangat tinggi kepada raja yang dikehendaki dan seorang raja juga menjadi contoh kepada masyarakatnya.
Setelah raja dan masyarkatnya memeluk agama Islam, politik sesungguhnya akan dilaksanakan, dimana kerajaan itu akan melakukan perluasan wilayahnya dan tidak dapat dipungkiri bahwa agama Islam juga akan menyebar juga melalui perluasan wilayah.
4. Pendidikan
Seluruh da’i, ulama dan guru memiliki peran dalam menyebarkan agama Islam. Khususnya melalui cara pendidikan kepada masyarakat yang sudah memeluk agama Islam serta terlebih lagi yang belum memeluk agama Islam. Banyak cara dilakukan, baik mengajar secara langsung tanpa melalui bangku pendidikan formal dan juga melalui pendidikan seperti pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan tempat yang sangat idel dalam menyebarkan agama Islam, baik segi tempat maupun yang lainnya. Sebagian besar bahkan masih eksis sampai sekarang dan sebagian besar yang masih eksis itu ada yang masih menggunakan cara yang relatife sama dengan awal penyebaran Islam di Indonesia.
5. Kesenian
Penyebaran Islam melalui kesenian dapat dialakukan dengan mengadakan pertunjukan seni gamelan dan seni wayang. Cara seperti ini banyak ditemui di Jokjakarta, Solo, Cirebon dan lain-lain. Seni gamelan biasanya digunakan untuk mengumpulkan masyarakat sekitar untuk hadir dalam sebuah pertemuan yang selanjutnya diteruskan dengan dakwah Islam.
Seni wayang merupakan hiburan bagi masyarakat yang sebagian besar sangat menyukai seni wayang, dan dari sinilah para dalang ikut menyebarkan agama Islam melalui cerita yang dipertotonkan kepada masyarakat. Contohnya, Sunan Kalijaga yang mengadakan pemetasan wayang untuk berdakwah dan karcis untuk bisa menontonnya hanya cukup dengan Syahadat. Namun bukan hanya itu saja, dalam bidang kesenian juga dimanfaatkan dengan baik, seperti melalui seni sastra, seni rupa aau seni kaligrafi dan seni-seni lainnya.
6. Tasawuf
Seorang sufi biasanya hidup dalam kesedarhanaan, dan kesederhanaan inilah yang membuatnya dekat dengan masyarakat sehingga dapat memudahkan dalam dakwah Islam. Namun seorang sufi biasanya juga ahli dalam beberapa bidang, sehingga saat keahlian itu dibutuhkan oleh masyarakat maka seorang sufi akan memberikan bantuan kepada masyarakat sekaligus menyebarkan ajaran Islam.[3]
C. Sejarah Tentang Walisongo
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali.[4] Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.[5]
Adapun penjelasan tokoh-tokoh Walisongo adalah sebagai berikut :
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana Malik Ibrahim)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.[6]
Dikalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh.
Di Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.[7]
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya bernama Dewi Candrawulan. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan Maulana Ishak.
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.
Pada awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Dan beliau wafat pada tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.[8]
3. Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid. Beliau dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Psai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah.
Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.[9]
4. Sunan Giri
Sunan Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan Walisongo. Nama Sunana Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer.[10]
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya daam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang tau bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.[11]
5. Sunan Drajat
Nama aslinya adalah Raden Syarifudin. Ada suber yang lain yang mengatakan namanya adalah Raden Qasim, putra Sunan Ampel dengan seorang ibu bernama Dewi Candrawati. Jadi Raden Qasim itu adalah saudaranya Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang). Oleh ayahnya yaitu Sunan Ampel, Raden Qasim diberi tugas untuk berdakwah di daerah sebalah barat Gresik, yaitu daerah antara Gresik dengan Tuban.
Di desa Jalang itulah Raden Qasim mendirikan pesantren. Dalam waktu yang singkat telah banyak orang-orang yang berguru kepada beliau. Setahun kemudian di desa Jalag, Raden Qasim mendapat ilham agar pindah ke daerah sebalah selatan kira-kira sejauh satu kilometer dari desa Jelag itu. Di sana beliau mendirikan Mushalla atau Surau yang sekaligus dimanfaatkan untuk tempat berdakwah. Tiga tahun tinggal di daerah itu, beliau mendaat ilham lagi agar pindah tempat ke satu bukit. Dan di tempat baru itu belaiu berdakwah dengan menggunakan kesenian rakyat, yaitu dengan menabuh seperangkat gamelanuntuk mengumpulkan orang, setelah itu lalu diberi ceramah agama.Demikianlah kecerdikan Raden Qasim dalam mengadakan pendekatan kepada rakyat dengan menggunakan kesenian rakyat sebagai media dakwahnya. Sampai sekarang seperangkat gamelan itu masih tersimpan dengan baik di museum di dekat makamnya.
6. Sunan Kalijaga
Nama aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[12]
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits, tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di Nusantara.
Ada cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis, Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat) permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.[13]
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai berikut:
a. Strategi pendekatan kepada masa dengan jalan
i. Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah.
ii. Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama islam.
iii. Tut Wuri Handayani.
iv. Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
c. Merangkul masyarakat Budha
Setelah masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
d. Selamatan Mitoni
Biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.[14]
8. Sunan Muria (Raden Umar Said)
Salah seorang Walisongo yang banyak berjasa dalam menyiarkan agama Islam di pedesaab Pulau Jawa adalah Sunan Muria. Beliau lebih terkenal dengan nama Sunan Muria karena pusat kegiatan dakwahnya dan makamnya terletak di Gunung Muria 18 km di sebelah utara Kota Kudus sekarang).[15]
Beliau adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam. Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.
Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa ngeli yaitu menghanyutkan diri dalam masyarakat.[16]
9. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Salah seorang dari Walisongo yang banyak berjasa dalam menyebarkan Islam di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Barat; juga pendiri Kesultanan Cirebon. Nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dialah pendiri dinasti Raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sunan Gunung Jati adalah cucu Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.[17]
Setelah selesai menuntut ilmu pasa tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[18]
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.[19]
D. Peran Walisongo dalam Penyebaran dan Perkembangan Islam di Indonesia.
Sejarah walisongo berkaitan dengan penyebaran Dakwah Islamiyah di Tanah Jawa. Sukses gemilang perjuangan para Wali ini tercatat dengan tinta emas. Dengan didukung penuh oleh kesultanan Demak Bintoro, agama Islam kemudian dianut oleh sebagian besar manyarakat Jawa, mulai dari perkotaan, pedesaan, dan pegunungan. Islam benar-benar menjadi agama yang mengakar.[20]
Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut ”gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya, sifatnya tidak masal bahkan rahasia seperti yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Selain prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.[21]
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan da’wah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti olehwalilainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.[22]
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain:
1. Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
2. Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3. Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
4. Sebagai orang yang dekat dengan Allah SWT karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5. Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6. Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7. Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8. Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.
[1]Anwar Kurnia, IPS Terpadu 1SMP kelas VII, (Jakarta:Yudhistira, 2010), hlm. 178.
[2]Musyrifah Susanto, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 8-9.
[3] Khamzah, dkk., Sejarah Kebudayaan Islam Kelas XII Semester Ganjil, (Sragen: Penerbit Akik Pusaka, t,t), hlm. 31-33.
[4] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 21- 22.
[5] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hlm 16
[6] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm. 125
[7] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm 194
[8] Abu Su’ud, Islamologi(Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), hlm.195
[10] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 65
[13] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, (Bandung: CV. ARMICO, 2009), hlm. 33.
[14] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogayakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hlm 130.
[15] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, (Bandung: CV. ARMICO, 2009), hlm. 34.
[16] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogayakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hlm. 137-138
[17] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, (Bandung: CV. ARMICO, 2009), hlm. 34-45.
[19] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam Madrasah Tsanawiyah untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, (Bandung: CV. ARMICO, 2009), hlm. 35.
[20] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah Jawa, (Yogayakarta: GRAHA Pustaka, 2009), hlm. 5
[21] Mukhlis PaEni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009), hlm 128-129
[22] http://zulfanioey.blogspot.com/2008/12/peran-walisongo-dalam-penyebaran-islam.html,31-05-2018, 16.00
Tidak ada komentar: