Makalah Hukum Agraria
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hukum Pertanahan
Dalam ruang lingkup agrarian,tanah merupakaan bagian dari bumi,yang di sebut permukaan bumi.Tanah yang di maksud di sini yaitu tanah dalam pengertian yuridisi yang di sebut hak.tanah seabagai bagian dari bumi disebutkan dalam pasal 4 ayat (1) UUPA,yaitu “atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang di maksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam ha katas permukaan bumi,yang disebut tanah,yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang,baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.” Dengan demikian,jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridisi adalah permukaan bumi,sedangkan hak atas tanah adalah ha katas sebagian tertentu permukaan bumi,yang berbatas,berdimensi tiga,yaitu panjang,lebar,dan tinggi,yang di pelajari dalam Hukum Penataan Ruang.
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum,baik tertulis maupun tidak tertulis,yang semuannya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret,beraspek public dan privat,yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system.[1]
B. Asas-Asas Hukum Pertanahan
Secara yuridis normatif landasan hukum agraria diatur di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945.
a. Pancasila
Secara implisit penyusunan hukum yang berlaku di Indonesia tidak dapat dilepaskan dengan pandangan hidup maka paham Negara hukum tidak seperti yang dianut dalam budaya hukum barat.
Pancasila merupakan sumber dari segala sumber tertib hukum di Indonesia termasuk sebagai sumber pembentukan peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
b. Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Tap MPR yang berkenaan dengan dengan peraturan di bidang agrria ialah Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Pembaruan agrria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan,penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
c. Undang –Undang Dasar 1945 (perubahan ke-4)
Undang-Undang Dasar merupakan grand design suatu masyarakat dan kehidupan baru Indonesia. Undang-Undang Dasar merupakan instrumen yang amat penting dalam proses pembangunan masyarakat baru Indonesia dan menjadi modal bagi pembangunan hukum di Indonesia.
d. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
UUPA merupakan undang-undang untuk mengatur pemilikan dan memimpin penggunaan sumber daya alam, serta merupakan perwujudan dan pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan GBHN. UUPA merupakan konkretisasi dari sila-sila pancasila.
e. Peraturan perundang-undangan organik sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Peraturan-peraturan tersebut antara lain mengatur bidang-bidang keagrariaan yaitu bidang tata guna tanah, pendaftaran tanah, pengurusan hak atas tanah dan reformasi agraria.[2]
C. Masalah-Masalah Pertanahan
Indonesia merupakan negara agraris dimana kepemilikan tanah akan berpengaruh pada kehidupan masyarakat, terutama kepada masyarakat yang bekerja dengan mengelola tanah, seperti para petani. Dan kepemilikan tanah juga dapat menentukan seberapa berkuasanya orang tersebut, dihitung dari luas tanah yang ia miliki.
Tanah merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Namun pengelolaan tanah dan pertanahan di Indonesia belum cukup baik dan bahkan sering menimbulkan gejolak sosial di masyarakat, atau yang biasa kita kenal dengan sengketa tanah.
Munculnya sengketa pertanahan tidak lepas dari pentingnya arti penguasaan tanah bagi seseorang atau sekelompok masyarakat, yang dengan sendirinya akan mendorong timbulnya usaha untuk merebut kembali atau mempertahankan hak atas tanahnya. Sengketa tanah adalah sengketa yang diakibatkan oleh dilakukannya perbuatan hukum atau terjadinya peristiwa hukum mengenai suatu bidang tanah tertentu.
Para pihak yang terlibat dalam suatu proses sengketa tanah, pada umumnya dapat dikelompokkan menjadi lima kelompok, yaitu:
a. Antara pemilik/penggarap/penghuni dengan instansi pemerintah (termasuk BUMN).
b. Antara anggota masyarakat (pemilik/penggarap/penghuni).
c. Antara pemilik dengan penggarap/penghuni.
d. Antara instansi pemerintah dengan perusahaan swasta.
e. Antara sesama perusahaan swasta.[3]
Pada dasarnya kasus sengketa tanah tersebut timbul sebagai akibat dari:
· Sengketa kasus kepemilikan
Apabila kedua belah pihak yang bersengketa merasa berhak atas sebidang tanah yang disengketakan , baik dibuktikan dengan surat-surat yang sah maupun tidak.
· Sengketa status penguasaan
Umumnya kedua belah pihak mengetahui siapa pemilik dan siapa yang menguasainya, yang menjadi persoalan adalah adanya keinginan dari salah satu pihak untuk menguasai tanah tersebut.
· Sengketa status penggunaan
Pihak penguasa/pemilik tidak menyetujui tanahnya digunakan untuk kepentingan tertentu.
· Sengketa yang disebabkan oleh tidak sesuainya ganti rugi pembebasan tanah
Yang menjadi persoalan adalah ketidaksesuaian pemberian ganti rugi kepada pihak yang tanahnya harus dibebaskan.
Ada dua faktor yang membagi permasalahan sengketa pertanahan:
1. Faktor Hukum
Beberapa faktor hukum yang menjadi akar dari sengketa/konflik pertanahan yang terjadi belakangan ini, antara lain:
a. Tumpang Tindih Peraturan
UUPA adalah induk dari peraturan di bidang sumber agraria lainnya, namun dalam berjalannya waktu telah dibuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria, tetapi tidak menempatkan UUPA sebagai undang-undang induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan undang-undang agraria.
b. Regulasi Kurang Memadai
Regulasi di bidang pertanahan belum seutuhnya mengacu pada nilai-nilai dasar pancasila. Dalam banyak kasus pertanahan, hak-hak rakyat pemilik tanah sering kali diabaikan.
c. Tumpang Tindih Peradilan
Saat ini terdapat tiga lembaga peradilan yang dapat menangani suatu konflik/sengketa pertanahan yaitu peradilan perdata, peradilan pidana, serta Peradilan Tata Usaha Negara(PTUN). Dalam bentuk konflik tertentu, salah satu pihak yang menang secara perdata belum tentu menang secara pidana(dalam hal ini konflik tersebut disertai tindak pidana). Selain itu, kualitas sumber daya manusia dari aparat pelaksana peraturan sumber daya agraria juga menjadi pemicu timbulnya konflik.
d. Penyelesaian dan Birokrasi Berbelit-belit
Upaya hukum melalui pengadilan terkadang tidak pernah menuntaskan persoalan. Penyelesaian perkara melalui pengadilan di Indonesia melelahkan, biaya tinggi dan waktu penyelesaian yang lama, belum lagi jika terjebak pada mafia keadilan. Hal ini tentunya tidak sesuai lagi dengan prinsip keadilan kita.
2. Faktor Non Hukum
a. Tumpang Tindih Penggunaan Tanah
Banyak terjadi tumpang tindih penggunaan tanah, yang terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan tanah, yaitu pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruangnya.
b. Nilai Ekonomis Tanah Tinggi
Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai aset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan kepentingan rakyat.
c. Kesadaran Masyarakat Meningkat
Pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah berubah. Terkait dengan tanah sebagai aset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.
d. Tanah Tetap, Penduduk Bertambah
Pertumbuhan penduduk yang amat cepat baik melalui kelahiran maupun migrasi serta urbanisasi, sementara jumlah lahan yang tetap, menjadikan tanah sebagai komoditas ekonomi yang nilainya sangat tinggi, sehingga setiap jengkal tanah dipertahankan mati-matian.
e. Kemiskinan
Terbatasnya akses terhadap tanah merupakan salah satu faktor penyebab kemiskinan dalam kaitan terbatasnya aset dan sumber daya produktif yang dapat diakses masyarakat miskin. Terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap tanah, kebanyakan petani hanya memiliki kurang dari satu hektar tanah.[4]
BAB III
KESIMPULAN
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum,baik tertulis maupun tidak tertulis,yang semuannya mempunyai objek pengaturan yang sama yaitu hak penguasaan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret,beraspek public dan privat,yang dapat disusun dan dipelajari secara sistematis,hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan satu system
Secara yuridis normatif landasan hukum agraria diatur di berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku yang merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu: Pancasila, Tap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945 (perubahan ke-4), Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pada dasarnya kasus sengketa tanah tersebut timbul sebagai akibat dari:
· Sengketa kasus kepemilikan
Apabila kedua belah pihak yang bersengketa merasa berhak atas sebidang tanah yang disengketakan , baik dibuktikan dengan surat-surat yang sah maupun tidak.
· Sengketa status penguasaan
Umumnya kedua belah pihak mengetahui siapa pemilik dan siapa yang menguasainya, yang menjadi persoalan adalah adanya keinginan dari salah satu pihak untuk menguasai tanah tersebut.
· Sengketa status penggunaan
Pihak penguasa/pemilik tidak menyetujui tanahnya digunakan untuk kepentingan tertentu.
· Sengketa yang disebabkan oleh tidak sesuainya ganti rugi pembebasan tanah
Yang menjadi persoalan adalah ketidaksesuaian pemberian ganti rugi kepada pihak yang tanahnya harus dibebaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Eko Supriyadi. 2014. hukum agraria kehutanan.Jakarta;PT Raja Grafindo Persada.
Samun Ismaya. 2011. Pengantar Hukum Agraria. Yogyakarta; Graha Ilmu.
Urip Santoso. 2015. Hukum Agraria: Kajian Komp [1] Urip Santoso, 2015, Hukum Agraria: Kajian Komprehensif, Jakarta; Prenadamedia, hlm. 9-11.
[2] Samun Ismaya, 2011, Pengantar Hukum Agraria, Yogyakarta; Graha Ilmu, hlm. 6-7.
[3] Bambang Eko Supriyadi,2014, hukum agraria kehutanan, Jakarta;PT Raja Grafindo Persada,hlm. 129.
[4] Bambang Eko Supriyadi,2014, hukum agraria kehutanan, Jakarta;PT Raja Grafindo Persada,hlm. 131-137.
Tidak ada komentar: