SHALAT BILINGUAL
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kita rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat kami selesaikan sebaigaimana yanga dianjurkan.Shalawat berangkaikan salam mari sama-sama kita hanturkan kepada baginda kita NabiMuhammad SAW yang telah membimbing kita kedalam cahaya iman.Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam proses penyusunan makalah ini.
Makalah ini kami susun untuk mempermudah proses belajar mengajar, menambah pengetahuan, dan asas manfaat bagi para mahasiswa.Kami berupaya menyusunnya dengan ringkas dan bahasa yang mudah dipahami para mahasiswa semaester awal.
Dikarenakan masih pemula dan keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami sadar akan adanya kekurangan dalam penyusunan maupun isi dari makalah ini.Oleh karena ini kami sangat mengharapkan adannya kritik dan saran yang membangun dari semua pihak umtuk menyempurnakan makalah ini.
Semarang,18 September 2017
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Sebagai produk ijtihad,fiqh mempunya watak aktual dan dinamis lantaran ia dikreasi untuk merespon aneka persoalan keagamaan yang muncul di tengah masyarakat.Sebagai hasil kreatifitas istinbath hukum,fiqh tentunya tidak bisa lepas dari konteks sejarah kapan dan dimana dia lahir.Dasar pijakan fiqh tidak semata berupa teks ajaran suci,tetapi juga konteks masyarakat fiqh sendiri sebagai objeknya.Atas dasar inilah aktualitas fiqh lalu dianggap sebagai sebiah keniscayaan sejarah.
Dewasa ini,dalam ruang lingkup ilmu fiqh sering sering muncul banyak masalah- masalah baru dalam masyarakat yang perlu di respon melalui ijtihad-ijtihad para ulama syara’. Masalah tersebut dapat berupa tata cara dalam beribadah maupun masalah lainya yang tidak bisa dianggap sebagai hal sepele.
Ibadah yang menjadi rutinitas seorang muslim adalah shalat.Pada umumnya semua mulim melaksanakan shalat dengan menggunakan bahasa Arab.Namun,Muhammad Yusman Roy,seorang laki-laki yang pernah terjun ke dunia tinju ,rutin mempraktikkan shalat menggunakan bahasa Indonesia di sebuah desa di kabupaten Malang,Jawa Timur.Tak ayal,masyarakat setempat geger dibuatnya.Dilandasi oleh masalah ini kami akan mencoba untuk membahas mengenai hukum shalat bilingual/shalat dwi bahasa
B.Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan shalat bilingual ?
2. Bagaimana kontroveksi ulama mengenai shalat bilingual ?
3. Apa saja dalil-dalilnya ?
4. Bagaimana hukum shalat bilingual ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu fiqh
2. Untuk mengetahui pengertian sholat bilingual dan dalil-dalilnya
3. Untuk mengetahui kontroversi tentang sholat bilingual
4. Untuk mengetahui hukum shalat bilingual
BAB II
PEMBAHASAN
A.Pengertian shalat bilingual
Shalat menurut bahasa artinya berdoa.Sedangkan menurut istilah adalah menghadapkan jiwa dan raga kepada Allah,karena talwa hamba kepada Tuhannya,mengagungkan kebesarannya dengan khusyu’ dan ikhlas dalam bertuk perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan doa dan diakhiri dengan salam sesuai dengan syarat dan rukun tertentu.Definisi seperti ini telah disepakati oleh para ulama fiqh,dimana mereka mengatakan :
“shalat adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat yang telah ditentukan”1
Bahasa merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi,tidak gampang untuk membahas tentang kebahasaan,makna teks dan aturan dalam nahwu.Biasanya bahasa yang diperhatikan oleh mayoritas adalah bahasa populer yang sudah dikenal.Syaikh Sa’id Huri pernah membahas pengauh bahasa dalam fiqh,beliau mengatakan: “ Bahasa Arab adalah bahasa agama ini (islam).” Agama turun dengan menggunakan bahasanya.Dan dengannya teks-teks agama bisa dipahami.Sejauh suatu bahasa untuk bisa menyampaikan pemahaman,maka dibutuhkan perjuangan untuuuk memahaminya secara mendalam mencakup dialeg-dialegnya.Bahasa Arab cukup sulit.Didalamnya terdapat banyak kata sinonim.Masing-masing kata mempunyai maknanya sendiriyang tidak dapat diganti dengan oleh makna lain.2
Jadi,shalat bilingual atau shalat dwi bahasa adalah shalat yang dilaksanakan menggunakan bahasa selain Bahasa Arab (bahasa a’jam).Masalah ini benar-benar sensional dan mengejutkan. Shalat yang demikian di praktikkan oleh Muhammad Yusman Roy di sebuah desa di kabupaten Malang,Jawa Timur.Menurutnya shalat yang ia kenal sejak kecil ternyata belum mampu memberikan nuansa khusyu’ dan khuduk.Padahal,nuansa khusyu’lah yang menjadi tujuan inti dari shalat.Shalat tanpa khusyu’ baginya lebih baik tidak shalat sama sekali. Kegelisahan itu ternyata membawanya pada satu temuan cara shalat baru yang menurutnya
1 Drs.H.NH.Rifa’i,Pintar Ibadah,Lintas media,jombang,hlm.39
2 Jamal al-Banna,Manifesto Fiqh Baru 3,Penerbit ErlanggaJakarta,2008,hlm .189-193
mampu membawa manusia kepada penghayatan makna shalat yang hakiki,sekaligus memberi dampak nyata dalam kehidupan sehari-hari.”Metode” baru tersebut cukup menghebohkan masyarakat,lantaran bacaan shalatnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia.3
B.Kontroversi Ulama dan Dalil-dalilnya
Shalat merupakan ibadah rutin yang disyariatkan kepada Rasulullah dan ummatnya. Seperti halnya ibadah lain yang memiliki tata cara tertentu,ajaran shalat juga disertai perangkat mekanisme dan tata cara dalam mengerjakannya.Rasulullah telah memberi tuntutan bagaimana seharusnya shalat itu dikerjakan.
Menurut pandangan para ulama,rangkaian shalat yang di kerjakan Rasulullah merupakan bentuk amalan qath’iy (paten) yang tidak bisa di ganti dengan bentuk lain berupa apapun.Sebab,praktik shalat yang dikerjakan Rasulullah merupakan bentuk amalan tertntu yang diajarkan langsung oleh Allah melalui Malaikat Jibril,dan Rasulullah menganjurkan ummatnya mengerjakan shalat melalui sabdanya :
“ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (H.R. Imam Bukhari)
Shalat merupakan ibadah yang terdiri dari perkataan dan perbuatan,oleh karena itu dua kewajiban dalam shalat itu harus dipenuhi,yakni ucapan-ucapan yang di sebut dengan rukun qauli dan perbuatan-perbuatan yang disebut rukun fi’li. Dalam pembahasanini kita lebih fokus pada rukun qauli .
Secara garis besar,rukun qauli dapat diklasifikasikan menjadi dua macam,yakni:
1. Qiraah, berupa membaca ayat-ayat Al-Qur’an, seperti surah Al-Fatihah
2. Adzkar, berupa bacaan zikir-zikir, seperti takbir,tasyadud,shalawat,dan salam
Mengenai surah Al-Fatihah,di kalangan ulama terjadi perbedaan pendapat.Ada dua kubu yang saling berhadapan:
a) Kubu yang berpendapat bahwa membaca Al-Fatihah adalah wajib hukumnya selama orang itu mampu.Pendapat ini dikemukakan oleh Imam
3 Harian Jawa Pos,edisi 1 Mei 2005
Asy-Syafi’i,Imam Malik,Ahmad,Ishaq,Daud, dan Abu Tsur.Mereka melandaskan pendapatkannya ini pada hadits nabi:
“ Tidak sah shalatnya orang yang tidak membaca fatihahnya Kitab (Al-Qur’an)”
Selanjutnya mereka membuat rincian jika ada seseorang yang tidakmampu mebaca Al-Fatihah,maka harus menggantinya dengan tujuh ayat yang sama panjangnya dengan Al-Fatihah .Jika tetap tidak mampu, sebagai gantinya dia harus membaca zikir.Jika zikir pun tidak bisa,maka dia harus berdiam diri dengan waktu yang sama lamanya dengan dia membaca
Al-Fatihah. Pendapat ini juga disetujui oleh sahabat Imam Abu Hanifah,yaitu Abu Yusuf dan Muhammad.Hanya saja, keduanya memperbolehkan untuk menerjahkan surah Al-Fatihah,ketika tidah mampu membaca surah Al-Fatihah,surah-surah lain atau tidak bisa zikir.4
Lebih lanjut jumhur ulama melarang untuk menerjemahkan Al-Fatihah dalam shalat.Alasan mereka adalah bahwasannya Al-Quran berbahasa Arab dan terjemah Al-Quran tidak dapat disamakan dengan Al-Quran,oleh sebab itu tidah boleh diterjemahkan dalam bahasa a’jami (selain bahasa Arab).Selain itu,hakikat shalat itu sendiri adalah Al-Quran,Zikir,do’a,dan tasbih.Berlandas pada alasan inilah jumhur ulama dengan tegas membatalkan shalat seseorang yang menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab.5
b) Pendapat yang dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah bahwa membaca Al-Fatihah merupakan wajibnya shalat,bukan fardhunya.Konsejuensinya,bacaan surah Al-Fatihah boleh diganti dengan ayat yang lain.Argumentasi yang diajukan pendapat ini adalah firman Allah dalam Al-Quran:
“...bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Quran...” (QS.Al-Muzammili)
Kebolehan ini berlaku secara mutlak,baik bagi yang tidak mampu membaca surah Al-Fatihah maupun orang yang pintar dan fasih melafalkan surah Al-Fatihah.Menurutnya boleh melakukan shalat dengan bahasanya sendiri.6
Selain itu,Imam Abu Hanifah juga mempunyai interpretasi lain
terhadap makna Al-Quran.Beliau berpendapat bahwa Al-Quran adalah
4 Mughni al-Muhtaj,Juz 1,hlm.149-160,Kifayat al-Akhyar,hlm.107
5 Mughni al-Muhtaj,Juz 1,hlm.149-160
6 Fath al-Muhtaj,Juz 1,hlm.488
“makna” yang berisi ibarat, mauizah (nasihat), kabar gembira, ancaman, pujian, dan pengagungan terhadap Tuhan, bukanlah “lafal” dari Al-Quran
itu sendiri.Oleh karenanya,menggunakan terjemahan pun tidak dipersoalkan, yang penting dapat mencerminkan esensi (makna) ayat
tersebut.Ditambahkan pula bahwa Allahlah yang menciptakan semua bahasa,maka Dia lebih tau terhadap bahasa apapun.
Namun, Abu Bakar Ar-Razi,salah satu pengikutnya, menginformasikan bahwa Abu Hanifah sebenarnya telah mencabut kembali pendapatnya tersebut dan kemudian sejalan dengan pendapat Aby Yusuf dan Muhammad,terjemahan surah Al-Fatihah bagi yang benar-benar tidak mampu saja.
Bacaan selain surah Al-Fatihah meliputi takbir,tahiyyat,shalawat,dan salam.Menurut jumhur ulama, semua bacaan tersebut wajib menggunakan bacaan yang warid ( yang datang dari Rasulullah), tidak boleh diterjemahkan,kecuali jika memang orang yang melakukan shakat benar-benar tidak mampu.Bahkan menurut kalangan Malikiyyah, salam pun boleh diterjemahkan sesuai bahasanya sendiri jika tidak mampu.
C. Hukum Shalat Bilingual
Kegelisahan yang spontan muncul ketika melihat betapa banyak orang yang shalat,tetapi tidak mampu menerjemahkan makna shalatnya dalam sikap sehari-hari.Maka,akan menjadi tidak bernilai jika shalat yang selama ini kita kerjakan belum menjadikan kita sebagai hamba yang shalih, seorang hamba yang peduli terhadap nasib butuk orang-orang di sekitar.Bukankan Allah berfirman :
“...sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar...” (QS.Al-Ankabut : 45) .‘Ala kulli hal, praktik shalat ala Muhammad Yusman Roy masih dapat dibenarkan senyampang belum bisa menggunakan dan membaca aksara arab dengan benar, bahkan menurut pandangan Imam Abu Hanifah,bagi orang yang mampu berbahasa Arab pun boleh-boles saja melakukan shalat dengan bahasa Indonesia misalnya,Yang terpenting menurut pendapat ini adalah asensi shalat itu sendiri.
Melakukan shalat dengan bahasa Arab merupakan kesatuan fiqh yang sudah baku dan tidak dapat dipertentangkan lagi.Sedangkan shalat dengan bahasa Indonesia masih diperdebatkan di kalangan fuqaha’. Bahkan Abu hanifah sendiri ditenggarai telah menarik kembali pendapatnya yang dinilai kontroversial tersebut. Atas dasar ini,untuk menghindari kontroveksi alangkah baiknya jika sedapat mungkin kita belajar menggunakan bahasa Arab, paling tidak yang berkaitan dengan rukun-rukun qauli dalam shalat untuk meningkatkan kualitas perenungan kita terhadap makna bacaan dalam shalat. Alangkah lebih nikmatnya jika shalat dilerjakan dengan bahasa yang bisa kita pahami maknanya tanpa mengundang kontroveksi. Dalam kaidah fiqh dinyatakan:
” Menghindarkan diri dari kontroveksi merupakan suatu yang disunahkan”
Shalat merupakan sarana komunikasi setiap muslim dengan Sang Pencipta. Agar shalat kita terasa lebih komunikatif dengan Allah, maka sewajarnya kita memahami setiap untaian kata yang tertuang dalam rukun-rukun qauli maupun sunah-sunah qauliyah dalam shalat. Bukankan shalat memang disyariatkan untuk bermunajat kepada Allah,dan untuk memohon ampunan kepadanya? Shalat, dengan demikian, bukan sekedar melaksanakan kewajiban kita kepada Allah.Namun, lebih dari itu, dengan mengamalkan shalat berarti kita membangun kesadaran akan kebutuhan dan kerendahan diri kita dihadapan Allah.7
7 Dr.H.Abu Yasid, LL.M,Fikih Kontroversial,Penerbit Erlangga,Jakarta,2007,hlm.29-37
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Shalat adalah beberapa perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.Sedangkan bahasa merupakan sarana manusia untuk berkomunikasi,tidak gampang untuk membahas tentang kebahasaan,makna teks dan aturan dalam nahwu. Jadi,shalat bilingual atau shalat dwi bahasa adalah shalat yang dilaksanakan menggunakan bahasa selain Bahasa Arab (bahasa a’jam).M. Shalat yang demikian di praktikkan oleh Muhammad Yusman Roy di sebuah desa di kabupaten Malang,Jawa Timur.Menurutnya shalat yang ia kenal sejak kecil ternyata belum mampu memberikan nuansa khusyu’ dan khuduk.Padahal,nuansa khusyu’lah yang menjadi tujuan inti dari shalat.
Menurut pandangan para ulama,rangkaian shalat yang di kerjakan Rasulullah merupakan bentuk amalan qath’iy (paten) yang tidak bisa di ganti dengan bentuk lain berupa apapun.Sebab,praktik shalat yang dikerjakan Rasulullah merupakan bentuk amalan tertntu yang diajarkan langsung oleh Allah melalui Malaikat Jibril,dan Rasulullah menganjurkan ummatnya mengerjakan shalat melalui sabdanya :
“ Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (H.R. Imam Bukhari)
Melakukan shalat dengan bahasa Arab merupakan kesatuan fiqh yang sudah baku dan tidak dapat dipertentangkan lagi.Sedangkan shalat dengan bahasa Indonesia masih diperdebatkan di kalangan fuqaha’. Bahkan Abu hanifah sendiri ditenggarai telah menarik kembali pendapatnya yang dinilai kontroversial tersebut. Shalat memang disyariatkan untuk bermunajat kepada Allah,dan untuk memohon ampunan kepadanya, namun lebih dari itu, dengan mengamalkan shalat berarti kita membangun kesadaran akan kebutuhan dan kerendahan diri kita dihadapan Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Drs.H.NH.Rifa’i, Pintar Ibadah, Jombang: Lintas Media
Jamal al-Banna,2008, Manifesto Fiqh Baru 3,Memahami paradigma fiqh moderat, Jakarta: Penerbit Erlangga
Dr.H.Abu Yasid, LL.M,2007, Fikih Kontenporer,Fatwa tradisional untuk orang modern,Jakarta: Penerbit Erlangga
Tidak ada komentar: