Nasikh, dan Mansukh
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara umum tujuan syari’at adalah untuk kemaslahatan manusia. Maka dalam pembentukan kemaslahatan manusia tidak dapat dielakan, adanya nasikh dan Mansukh terhadap beberapa hukum terdahulu dan diganti dengan hukum yang sesuai dengan tuntunan realitas zaman, waktu, dan kemaslahatan manusia. Proses serupa ini, dinamakan nasikh mansukh
Al-Qur’an merupakan sumber ilmu yang tidak ada habisnya untuk dipelajari. Banyak cabang-cabang ilmu pegetahuan yang diambil dari Al-Qur’an. Dalam makalah ini kami mencoba sedikit membahas tentang ilmu Nasikh Mansukh dalam Al-Qur’an. Di samping itu juga untuk memahami bahwa Nasikh dan Mansukh terjadi karena Al-Qur’an diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang mengiringinya. Oleh karena itu untuk mengetahui Al-Qur’an dengan baik kita harus mengetahui ilmu Nasikh dan Mansukh dalam Al-Qur’an.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan Nasakh dan Takhshish?
3. Apa saja macam-macam Nasakh?
4. Bagaimana pendapat ulama tentang Nasakh?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh.
2. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan Nasakh dan Takhshish.
3. Untuk mengetahui macam-macam Nasakh.
4. Untukmengetahui pendapat ulama tentangNasakh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nasakh, Nasikh, dan Mansukh
Para ulama telah panjang lebar dalam mengartikan nasakh menurut istilah, karena lafal nasakh mengandung beberapa makna dari segi bahasa.
a. Nasakh dapat bermakna izalah (menghilangkan) seperti firma Allah SWT dalam surat Al-Hajj ayat 52
b. Nasakh dapat bermakna tabdil (mengganti) seperti dalam QS An-Nahl ayat 101.[1]
Sedangkan menurut istilah nasakh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain.[2]Kata nasikh dan mansukh yaitu isim fa’ildan maf’ul dari kata nasakh. Nasikh dapat diartikan yang menghapus, yang mengganti atau mengubah hukum syara’ terdahulu dan digantikan dengan ketentuan hukum yang baru. Sedangkanmansukh adalah hukum yang diangkat atau dihapuskan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam naskh dapat diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Hukum yang mansukh adalah hukum syara’
b. Dalil penghapusan hukum tersebut adalah dalil syar’i yang datang lebih kemudian dari dalil yang hukumnya mansukh
c. Dalil yang mansukh hukumnya tidak dibatasi dengan waktu tertentu.
B. Perbedaan dan Persamaan Nasakh dan Takhshih
Dalam nasakhdan takhshish ada persamaan dan ada pula perbedaan. Jika dilihat pengertian takhshishadalah meringkaskan pemberlakuan hukum secara umum sehingga menjadi sebagian saja.
Diantara persamaan Nasakh dengan takhshish adalah:
1. Baik Nasakh atau takhshish sama-sama membatasi ketentuan hukum tersebut.
Kalau Nasakh membatasi ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedang takhshish dengan batasan materi.
Misalnya, dalam contoh penghapusan kewajiban bersedekah sebelum menghdap Rasul. Seolah-olah masalah disitu hanya pembatasan ketentuan itu dengan waktu saja, sehingga sepertinya dapat diungkapkan sebagai berikut: “Kalau akan menghadap Rasul itu, harus memberikan sedekah dulu, kecuali setelah turun ayat yang meniadakan kewajiban itu”. Ungkapan itu sepertinya hampir sama dengan kalimat: “Wanita yang ditalak suaminya itu wajib beriddah tiga kali suci, kecuali bagi wanita yang ditalak sebelum dikumpuli”.
Oleh karena tampak adanya kesamaan antara keduanya itu sah-sah saja, maka ada perbedaan pemahaman diantara para ulama. Ada sebagian ulama yang mengakui ada dan terjadinya Nasakh itu, dan ada pula yang mengingkarinya, dan menganggap Nasakh itu adalah sama saja dengan takhshish.
2. Nasakh sama dengan takhshish dalam hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu ketentuan hukum syarak.
Nasakh menghapus dan menganti ketentuan hukum-hukum syarak, sedang takhshishmembatasi keumuman jangkauan hukum syarak.
3. Dalil yang me-nasakh sama dengan dalil yang men-takhshish.
Secara lebih terperinci nasakh dapat dibedakan dari takhshish berdasarkan beberapa hal yaitu sebagai berikut:
1. Nasakhmenghilangkan hokum nash yang dinasakhkan, sedangkan takhshish meringkas hokum umum sehingga ia hanya berlaku pada sebagian individu, tidak semuanya.
2. Nasakhbias terjadi masalah umum dan khas, sedangkan takhshish hanya terjadi pada hukum umum saja.
3. Ayat yang dinasakhkan harus muncul lebih awal dari ayat yang menasakhkan, sedangkan takhshish tidak harus terkemudian dari ayat umum, ia boleh bersamaan, dahulu, atau kemudian.[4]
C. Macam- Macam Nasakh
Pembagian Nasakh dalam Al-Qur’an ada tiga macam:
1. Nasakh tillawah dan hukum, yaitu ayat yang dinasakhkan bacaan dan hukumnya. Contohnya hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, “Dahulu pernah diturunkan ketentuan yang mengharuskan minimal sepuluh hisapan susu sehingga ia (ibu sususan) menjadi mahram (anak susuan), kemudian dihapus dengan hanya lima hisapan saja yang diketahui (ma’lum).” (HR Bukhari Muslim)[5]
2. Nasakh hukumnya tetapi tillawahnya tetap, yaitu hukum syara’ dihapuskan, tidak diamalkan, namun lafadznya tetap.[6]Contohnya QS Al-Anfal ayat 65 yang di naskh QS Al-Anfal ayat 66
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ حَرِّضِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى الْقِتَالِ ۚ إِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ عِشْرُونَ صَابِرُونَ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ يَغْلِبُوا أَلْفًا مِنَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَفْقَهُونَ
Artinya: Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan duaratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang yang sabar diantaramu, niscaya mereka akan dapat mengalahkan seribu dari pada orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.
Ayat ini menunjukkan kewajiban bersabarnya 20 umat Islam berperang menghadapi 200 orang kafir. Dan bersabarnya 100 umat Islam berperang menghadapi 1000 orang kafir.
Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
الْآنَ خَفَّفَ اللَّهُ عَنْكُمْ وَعَلِمَ أَنَّ فِيكُمْ ضَعْفًا ۚ فَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ مِائَةٌ صَابِرَةٌ يَغْلِبُوا مِائَتَيْنِ ۚ وَإِنْ يَكُنْ مِنْكُمْ أَلْفٌ يَغْلِبُوا أَلْفَيْنِ بِإِذْنِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ مَعَ الصَّابِرِينَ
Artinya :Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir; dan jika diantaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.
3. Nasakh tillawahnya tetapi hukumnya tetap, yaitu lafadznya dihapuskan, diganti, tetapi hukumnya tetap. Contohnya QS An-Nuur ayat 2
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا مِائَةَ جَلْدَةٍ ۖ وَلَا تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۖ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belaskasihan kepada keduanya mencegahkanmu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hokuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Ternyata dahulu pernah turun ayat yang isinya perintah untuk merajam pezina, kemudian dihapus. Ayat tersebut adalah
“Laki-laki yang sudah menikah dan perempuan yang sudah menikah apabila mereka masing-masing berzina, maka rajamlah mereka sampai mati, sebagai peringatan dari Allah. Dan sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
D. Pendapat Ulama tentang Nasakh
Dalam masalah nasakh para ulama terbagi atas empat golongan:[7]
1. Orang Yahudi: mereka tidak mengakui adana nasakh, karena menurut mereka, nasakh mengandung konsep al-bada’, yakni muncul setelah tersembunyi. Maksudnya mereka adalah, nasakh itu adakalanya tanpa hikmah, dan ini mustahil bagi allah. Dan adakalanya karena sesuatu hikmah yang sebelumnya tidak nampak. Ini berarti terdapat sesuatu kejelasan yang didahului oleh ketidakjelasan. Dan ini pula mustahil bagi-Nya.
Cara berdalil mereka ini tidak dibenarkan, sebab masing-masing hikmah nasikh dan Mansukh telah diketahui oleh Allah terlebih dahulu. Jadi pengetahuan Allah tentang hikmah tersebut bukan hal yang baru muncul, Ia membawa hamba-hamba-Nya dari satu hokum kehukum yang lain adalah karena sesuatu maslahat yang telah diketahui-Nya jauh sebelum itu, sesuai dengan hikmah dan kekuasaan-Nya yang absolut terhadap segala milik-Nya.
2. Orang Syi’ah Rafidhah: Mereka sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh dan meluaskannya. Mereka memandang konsep al-bada’ sebagai suatu hal yang mungkin terjadi bagi Allah. Untuk mendukung pendapatnya itu mereka berpegang pada firman Allah QS Ar- Ra’ad: 39
يَمْحُوا اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Artinya: Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisi-Nya-lah terdapat Ummul Kitab (Lauh Mahfuz).
Pemahaman demikian merupakan kesesatan yang dalam dan penyelewengan terhadap Qur’an, sebab makna ayat tersebut adalah Allah menghapuskan sesuatu yang dipandang perlu dihapuskan dan menetapkan penggantinya jika penetapannya mengandung masalah.
3. Abu Muslim Al-Asfani menurut beliau secara logika nasakh dapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’. Dikatakan pula bahwa beliau menolak sepenuhnya terjadi nasakh dalam A- Qur’an berdasarkan firman Allah QS Fushilat ayat 42:
لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلا مِنْ خَلْفِهِ تَنزيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
Artinya: Yang tidak datang kepadanya (Al-Qur'an) kebatilan — baik dari depan maupun dari belakangnya— yang diturunkan dari Tuhan Yang Mahabijaksana lagi Maha Terpuji.
Dengan pengertian hukum Al-Qur’an tidak akan dibatalkan untuk selamanya. Dan mengenai ayat-ayat tentang nasakh semuanya ia takhshishkan. Pendapat Abu Muslim ini tidak dapat diterima karena makna ayat tersebut ialah bahwa Qur’an tidak didahului oleh kitab-kitab yang membatalkannya dan tidak dating pula sesudahnya sesuatu yang membatalkan.
4. Jumhur ulama, mereka berpendapat nasakh adalah sesuatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hokum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil
a. Perbuatan-perbuatan Allah tidak bergantung pada alasan dan tujuan. Ia boleh saja memerintahkan sesuatu pada suatu waktu dan melarangnya pada waktu yang lain.
b. Nash-nash kitab dan sunnah menunjukan kebolehan nasakh dan terjadinya, antara lain:
· Al-Qur’an surah An-Nahl : 101
وَإِذَا بَدَّلْنَا آيَةً مَكَانَ آيَةٍ ۙوَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا يُنَزِّلُ قَالُوا إِنَّمَا أَنْتَ مُفْتَرٍ ۚبَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Artinya: Dan apabila Kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya, mereka berkata: "Sesungguhnya kamu adalah orang yang mengada-adakan saja". Bahkan kebanyakan mereka tiada mengetahui.(QS. An-Nahl: 101)
Dan QS. Al-Baqarah 106
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ
Artinya: ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan…” [QS. Al-Baqarah : 106].
· Hadis: dalam sebuah hadis shohih dari Ibnu Abbas ra. Umar berkata “Yang paling paham dan menguasai Al-Qur’an di antara kami adalah Ubay, namun demikian kami meninggalkan sebagian perkataannya karena ia mengatakan ‘Aku tidak akan meninggalkan sedikitpun segala apa yang pernah aku dengar dari Rasulullah’.
Padahal Allah telah berfirman QS Al-Baqarah :106
مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Artinya: ”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” [QS. Al-Baqarah : 106].
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nasakh ialah mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum syara’ yang lain. Nasikh dapat diartikan yang menghapus, yang mengganti atau mengubah hokum syara’ terdahulu dan digantikan dengan ketentuan hokum yang baru. Sedangkan mansukh adalah hokum yang diangkat atau dihapuskan.
· Persamaan dan perbedaan nasakh dengan takhshish adalah
1. Baik Nasakh atau takhshish sama-sama membatasi ketentuan hukum tersebut.
2. Dalil yang me-nasakh sama dengan dalil yang men-takhshish yaituberupa dalil syara’
3. Nasakh menghilangkan hokum nash yang dinasakhkan, sedangkan takhshish meringkas hokum umum sehingga ia hanya berlaku pada sebagian individu, tidak semuanya.
4. Nasakh bias terjadi masalah umum dan khas, sedangkan takhshish hanya terjadi pada hokum umum saja.
5. Ayat yang dinasakhkan harus muncul lebih awal dari ayat yang menasakhkan, sedangkan takhshish tidak harus terkemudian dari ayat umum, ia boleh bersamaan, dahulu, atau kemudian.
· Pembagian Nasakh dalam Al-Qur’an ada tiga macam:
1. Nasakh tillawah dan hokum
2. Nasakh hukumnya tetapi tillawahnya tetap
3. Nasakh tillawahnya tetapi hukumnya tetap.
Dalam pendapat masalah nasakh para ulama terbagi atas empat golongan, yaitu yang berpendapat tidak mengakui adanya nasakh, berpendapat sangat berlebihan dalam menetapkan nasakh, berpendapat secara logika nasakhdapat saja terjadi, tetapi tidak mungkin terjadi menurut syara’, dan ada yang berpendapat nasakh adalah sesuatu yang dapat diterima akal dan telah pula terjadi dalam hukum-hukum syara’ berdasarkan dalil-dalil.
B. Saran
Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami miliki masih sangat kurang. Oleh karena itu kami mengharapkan saran dari pembaca yang bersifat membangun untuk menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, 2009, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Al-Khattan, Manna Khalil, 2015, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa.
Yusuf , Kadar M., 2014, Studi Al-Qur’an, Jakarta: Imprin Bumi Aksara.
Amien Siddiq, 2008, BukuPintar Al-Qur’an,Jakarta: Qultum Media.
[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal 138
[2] Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), hal. 327
[3] http://www.pustakamadrasah.web.id/2015/06/persamaan-dan-perbedaan-nasakh-dan.html diakses pada 2017-10-26, pukul 15.05
[4] Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur’an, (Jakarta: Imprin Bumi Aksara, 2014), hal. 118
[5]Siddiq Amien, BukuPintar Al-Qur’an,(Jakarta: Qultum Media, 2008), hal. 43
[7] Manna Khalil Al-Khattan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2015), hal. 331-334
Tidak ada komentar: